Sejarawan Kuntowijoyo meneliti budaya tandingan dalam episode sumur sakti di Surakarta pada 1914. Ketika itu di Kampung Bratan, Laweyan, Surakarta, muncul berita yang menghebohkan masyarakat. Bermula dari pengakuan seorang wanita tua di Kampung Bratan yang bermimpi ditemui seorang kakek tua yang mengatakan bahwa dedemit penjaga Kampung Gajahan akan mempertontonkan gambar hidup di sumur yang terletak di halaman rumahnya.
Seorang anak kecil kemudian berteriak bahwa ia melihat dalam sumur milik perempuan tua ada api dan seekor harimau. Pengakuan anak kecil itu diperkuat beberapa perempuan yang mengaku melihat keajaiban pada sumur tersebut.
Kontan ribuan orang datang dari berbagai wilayah di Surakarta dan sekitarnya. Mereka berebut mengambil air sumur yang diyakini punya khasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Makin hari makin banyak orang yang datang. Polisi Belanda kemudian menutup sumur itu dan melarang orang untuk datang.
Fenomena sumur ajaib itu menjadi bukti kuatnya pengaruh mitos dalam masyarakat Jawa. Tetapi, di balik fenomena itu terdapat fenomena budaya tandingan dan counter hegemony. Masyarakat ingin melawan hegemoni penjajah dengan menunjukkan fenomena sumur ajaib yang dianggap tidak rasional oleh pemerintah Belanda.
Budaya tandingan atau counter culture itu akan terus membesar kalau tidak dihilangkan dengan memakai kekuatan kekuasaan. Fenomena itu terulang dalam kasus Ida Dayak. Rakyat yang berjubel itu mewakili sebuah dunia yang hanya dimiliki orang-orang kecil yang tidak banyak mempunyai harapan dalam sebuah masyarakat yang didominasi kekuasaan modal, yang melahirkan rumah-rumah sakit yang mahal dan tidak terjangkau. (*)