SURABAYA, HARIAN DISWAY- Suasana Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) jemaat Rungkut, Sabtu, 8 April 2023 malam sangat hening. Jemaat di gereja itu mengenang saat Yesus akan bangkit. Ibadahnya sangat singkat. Hanya satu jam. Mulai pukul 18.00. Dipimpin Pendeta Abednego Adinugroho.
Ibadah itu merupakan rangkaian paskah. Dikenal dengan ibadah Sabtu Sunyi. Bagi GKJW, peribadatan itu adalah hal yang baru. Namun, mereka akan mulai mentradisikan ibadah peringatan tersebut. Karena, itu merupakan satu bagian dari perjalanan paskah.
“Dasarnya adalah keridhoan kita sendiri. Bagian dari pengakuan iman. Yakni mengakui bahwa, Yesus itu turun dalam kerajaan maut. Disalibkan, mati dan turun kerajaan maut. Jadi perlu dihayati,” kata Abednego, kepada Harian Disway, usai ibadah. Pesan yang dibawa dan disampaikan kepada jemaat di GKJW dari peringatan itu, secara internal adalah bagian dalam memperteguh iman bagi umat. Yakni, Tuhan itu benar mati, lalu turun ke kerajaan maut untuk menebus dosa manusia. Secara komunal, banyak yang terjadi ketika Yesus mati di kayu salib. Salah satunya: 12 muridnya yang selama hidup Yesus selalu setia menemani pelayanan ke seluruh daerah, pada saat penyaliban itu, mereka semua hilang. Bersembunyi. Malah, orang-orang ternyata menjadi pengikut Yesus secara diam-diam, ketika itu malah menunjukkan dirinya. Misalnya saja: Yusuf Arimatea. Ia adalah seorang kaya raya ketika itu. Pria itu berani menghadap Pontius Pilatus. Di sana, ia meminta agar mayat Yesus dimakamkan. Setelah mendapat izin, Yusuf pergi membeli kain lenan yang putih bersih. Kemudian menurunkan mayat Yesus dari kayu salib. Nikodemus, juga datang ke situ. Ia datang membawa campuran minyak mur dengan minyak gaharu. Kira-kira lima puluh kati beratnya. Yusuf dan Nikodemus mengafani mayat Yesus dengan kain lenan tadi. Lalu, membubuhi dengan rempah-rempah. Tindakan itu dilakukan sesuai adat Yahudi. Yesus dikuburkan di tanah milik Yusuf. Makamnya berupa goa dengan penutup batu besar. Di sisi lain, dalam prosesi itu, menurut pendeta yang menjabat sebagai pengurus dewan gereja dunia (WCC) itu menilai, ada pesan sosial yang disampaikan. Yakni, kaum wanita yang ketika itu dianggap lemah dan tidak memiliki posisi apapun, dalam momen itu menjadi sangat spesial. Sebab, dalam prosesi pemakaman yang dilakukan oleh Yusuf, kaum perempuan ini terus mendampingi. “Mereka malah menunjukkan eksistensinya ketika itu. Sementara, murid Yesus lainnya yang laki-laki, ketika itu entah pergi kemana. Pesan sosialnya: kita dalam kehidupan itu semua sama. Punya kekuatan dan fungsi masing-masing,” bebernya. Dalam peringatan Sabtu Sunyi ini, umat kristiani mengenang Tuhan yang memiliki solidaritas. Sebab, Tuhan yang turun menjadi manusia. Mati dan merasakan sakit seperti yang dirasakan manusia. “Menurut saya, ini menjadi panggilan manusia untuk menjaga solidaritas sesama manusia. Karena, Yesus sudah memberikan contoh terlebih dahulu. Ia yang suci kudus mau menjadi seperti manusia. Itu luar biasa. Itulah pesan-pesan peristiwa dalam sabtu sunyi,” ucapnya. (*)