Namun di sisi lain membawa tantangan serius, yaitu bila ingin melihat sebuah kebenaran maka lihatlah di mana Mahfud MD berada.
Hal ini berbahaya karena personifikasi kebenaran bukan jalan menuju tercapainya keadilan publik. Mahfud MD sebagaimana manusia lainnya, tidak selalu benar, pun tidak selalu salah.
Di sisi lain keterhubungan media mainstream dan media sosial dianggap sedang mengalami disrupsi. Jurnalisme cover both side menjadi sesuatu yang sulit hadir pada case Achirudin.
Apakah karena cover both side journalism membutuhkan keahlian khusus yang harus dicapai melalui proses pendidikan yang rigid?
Apakah karena cover both siding journalism tidak dapat berpacu pada era digital yang serba serempak sehingga khawatir konten menjadi basi?
Realitas journalisme tersebut dianggap menghadirkan budaya jurnalisme instan, media mainstream yang lebih potensi memiliki kapasitas cover both-side journalism tertantang eksistensinya di industri media, tidak sedikit yang menyerah menjadi media penerus apa saja yang sedang dibahas netizen.
Tentu saja hal ini berpotensi memunculkan berita sampah yang hadir serempak. Bila demikian realitas yang terjadi, apakah keadilan publik dapat kita capai dengan baik?
Apakah penguasaan akses data baik privat maupun publik ditambah kemampuan mengelola netizen untuk membahas data tersebut adalah strategi yang dapat menjamin keadilan publik?
Mahfud MD Perlu Hati-Hati
Mahfud MD perlu berhati-hati dalam mengelola persepsi publik. Memang viralitas penting, menjadi signal bahwa bisa jadi perlu kehadiran Negara.
Namun tanpa frame kebenaran, ter-drive sekedar viralitas, Negara bisa tersesat dan menyesatkan warga negaranya sendiri. Keadilan publik selalu bersama kebenaran. Keadilan publik tidak selalu bersama viralitas. Sekian. (*)
Oleh Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute