HARIAN DISWAY - Perempuan tua bekas Gerwani itu masih bercerita dengan Soe Tjen Marching. Kali ini, dia mengisahkan masa lalunya yang pedih, saat berada di Benteng Ambarawa. Sel penuh sesak dan hanya bulgur yang disajikan kepada dia dan para tahanan lain.
Ketika kecil, mama Soe Tjen, Yuliani, kerap bercerita padanya tentang Benteng Ambarawa. Benteng yang jadi saksi bisu pertempuran antara rakyat dan para penjajah. Dia sempat kagum dengan benteng itu, sekaligus berharap dapat pergi ke sana untuk melihatnya langsung.
Namun, saat mendengar cerita perempuan tua bekas Gerwani itu, bayangan tentang situs bersejarah tersebut menjadi kelam. Kisah-kisah heroik perlawanan rakyat terhadap Belanda, berbalik menjadi kisah tragis: hilangnya rasa manusiawi oleh perbuatan bangsa sendiri.
Begitu menurut Soe Tjen. Bahkan dia mengibaratkan perempuan tua itu seperti Harriet Tubman. "Berawal dari penjara, berakhir di penjara juga. Meski kini dia telah bebas, stigma eks tapol masih berlangsung sekian puluh tahun. Mungkin sampai sekarang," ungkapnya. Lantas dia memberi gambaran detail tentang bagaimana perempuan itu bercerita:
Di samping Soe Tjen, perempuan tua itu menggerakkan tangannya ke depan. Menggenggam, seolah sedang memegang terali besi penjara. Tatapannya nanar ke depan. Menggambarkan apa yang dialaminya saat berada di penjara Benteng Ambarawa. Sebagai tahanan politik bekas Gerwani.
"Tidur adalah sebuah kemewahan bagi kami, para tahanan. Tapi kami sangat kecewa ketika harus terbangun. Sebab, dunia nyata hanyalah hal yang seram. Kami ingin tidur enggak pakai bangun lagi," ungkapnya. Lalu dia sedikit menyunggingkan senyum. Bukan kepuasan, tapi senyum pedih. Senyum sinis.
"Melalui tidur, kami seperti diberi gambaran: bahwa kematian sungguh damai. Kami ingin mati saja saat itu," ujar perempuan yang usianya lebih dari 80 tahun itu. Pagi tiba, sipir membawakan bulgur. Makanan yang seharusnya menjadi santapan seekor kuda. Keras ketika dikunyah, ditelan susah. Dikeluarkan saat buang air besar pun butuh perjuangan.
Masuk sakit, keluar sakit. Menahan sakit sembari mengejan berlama-lama di kakus karena bulgur, membawa masalah baru: ambeien. "Jadi kami sudah mirip mayat berjalan saja. Menahan sakit saat disuruh bekerja. Dubur pedih sekali. Berjalan pun harus pelan-pelan," ungkapnya.
Namun, ketika itu mereka bisa berterima kasih kepada tepian sumur. Saat siang hari atau cuaca sedang terik, pinggiran sumur di dalam penjara Benteng Ambarawa terasa hangat. "Sampeyan tahu apa yang kami lakukan? Duduk di pinggiran sumur itu sembari menggoyang-goyangkan pantat kami di tepi sumur itu," ujarnya. Lalu tertawa lirih. Tawa yang mengejek nasibnya sendiri kala itu.
T ernyata hangatnya tepi sumur itu mampu meredakan perih karena benjolan ambeien. Malah saat rutin melakukan itu ketika siang, benjolan di duburnya dapat mengempis. Tak berapa lama, makanan mereka diganti: gaplek, nasi jagung. Menu itu lebih mendingan daripada bulgur. Makanan kuda yang menyiksa.
"Sehari-hari ya cuma makan itu saja. Menu lain cari sendiri. Cicak, tikus, ular, belalang, kecoa. Tapi paling enak kalau nemu bekicot. Sudah lumayan itu. Direbus pakai sedikit garam. Tidak ada tujuan lain kami di dalam penjara saat itu, kecuali cuma ngisi perut," katanya.
Beberapa minggu kemudian, beberapa tahanan dipanggil dengan tangan terikat. Entah dibawa ke mana. Mereka sama sekali tak pernah kembali. Lalu tibalah giliran perempuan itu. "Saya dipanggil. Dinaikkan truk dengan keadaan terikat. Dalam truk, semuanya berisi tahanan perempuan. Para penjaga membawa senapan, ikut naik truk juga," ujarnya.
Beberapa orang ketika itu tampak bergidik. Khawatir. Apakah mereka akan dieksekusi atau diperkosa beramai-ramai. Salah seorang dari mereka berbisik, "Kita kelihatannya hanya akan dipindah". Satunya menyahut, dengan berbisik pula, "Dipindah ke mana?," tanyanya. "Akhirat".
Dark joke atau humor gelap yang muncul di tengah keadaan serba tak pasti. Truk itu melaju melewati kondisi jalan yang rusak dan hutan lebat. Fajar menyingsing. Cahaya mulai merayap. Mereka sampai di sebuah lahan yang luas dengan bangunan putih: Penjara Plantungan. "Dulu tempat orang lepra dibuang. Ya, itu penjara baru saya," ujarnya.
Di dalam penjara itu, mereka tentu tetap hidup tak layak. Namun, suatu waktu, dia mendapat kabar bahwa ada salah seorang tahanan baru. Usianya sudah tua, dan dia pandai menangkap dan memasak ular. Saat ditemui, rupanya dia kenal orang itu. "Mbakyu!," teriaknya. Yang bersangkutan menoleh. Mereka berpelukan sesaat. Keduanya sesama bekas Gerwani. Hanya, usianya jauh di atasnya.