RIBUT.
Ramai lebih tepatnya.
Mau pilih university based atau hospital based?
RUU Kesehatan Omnibus Law resmi masuk Prolegnas 2023. Tahun ini dibahas. Infonya, isinya macam-macam. Ada yang bilang seperti tahu campur. Yang lain juga bilang lebih mirip gado-gado.
Prosesnya juga sangat cepat. Bahkan, tidak banyak yang dilibatkan. Seperti sinetron kejar tayang.
Salah satu yang menarik, katanya, berkaitan dengan pendidikan kedokteran spesialis. Ada perseteruan hebat. Pilihannya, university based atau hospital based. Yang tidak paham dunia kedokteran mungkin bingung. Bedanya apa?
Sebelum berpihak ke salah satu pilihan, sebaiknya memang harus paham dulu dunia pendidikan dokter. Ini bukan tentang memilih Prancis atau Argentina di final Piala Dunia Qatar. Ini tentang yang sudah berlangsung ada, jamak, bisa dipahami umum. Praktis bukan prediksi.
Calon mahasiswa pendidikan dokter umumnya ada beberapa jalur untuk masuk di perguruan tinggi. Ada perbedaan antara PTN dan PTS. Jika PTN, ada jalur yang proses penerimaannya diseleksi dari nilai rapor calon mahasiswa dan peringkat SMA-nya. Ada jalur tes yang diseleksi secara nasional bersamaan dengan fakultas lainnya. Juga, jalur seleksi mandiri universitas. FK PTS beda lagi. Biasanya mereka mempunyai tes mandiri secara internal.
Setelah diterima, para mahasiwa FK menjalani pendidikan preklinik selama 3,5 tahun. Kemudian, diwisuda dengan gelar sarjana kedokteran (S.Ked.). Lulus S.Ked., umumnya para sarjana baru menuntaskan pendidikan profesi atau pendidikan klinik.
Mereka berputar menjalani stase di bagian dan lama tiap stase berbeda. Misalnya, lama stase ilmu kesehatan anak berbeda dengan stase ilmu kesehatan jiwa. Total lamanya dua tahun. Bisa lebih lama bagi yang sering tidak lulus saat ujian per bagian.
Setelah seluruh putaran stase pendidikan profesi diselesaikan dan dinyatakan lulus, para calon dokter itu diuji lagi di tingkat nasional. Setelah lulus ujian nasional, mereka menjalani internship alias proses magang keprofesian di rumah sakit dan puskesmas selama setahun. Setelah selesai internship, para dokter muda itu dapat bekerja dan mendapatkan surat izin praktik (SIP). Yang lain dapat melanjutkan pendidikan spesialisasi.
Sampai di sini mungkin sudah lebih bisa dipahami bahwa pendidikan dokter ternyata tidak sederhana.
Kenapa? Sebab, dokter mengurusi manusia. Tidak akan ada pasien yang mau ditangani dokter yang tidak tuntas menjalani proses itu. Dokter tidak bisa separuh jalan. Mereka harus tuntas dan total.
Bagi yang akan menempuh program pendidikan dokter spesialis, mereka akan mendaftar lagi. Ujian lagi. Kali ini jauh lebih ketat. Seleksi bisa melalui beberapa tahap. Mulai seleksi administrasi, tes kemampuan TPA dan bahasa Inggris, juga tes tulis, wawancara dan tes psikologi.
Kenapa? Sebab, pendidikan dokter spesialis lebih berat. Daya tahan dan daya juang harus kuat. Pintar saja tidak cukup. Tapi, mental dan emosional pun harus kokoh. Banyak juga yang gagal di tengah jalan. Mereka pun harus cukup puas menjadi dokter umum. Bisa juga menjadi dokter manajerial, struktural, periset, dokter tentara, bahkan dokter tim sepak bola. Peluang masih sangat terbuka untuk berkarier.