Kesehatan Omnibus

Senin 29-05-2023,04:15 WIB
Reporter : dr Muhammad Shoifi

Dokter tidak harus menjadi spesialis. Oleh karena itu, jumlah dokter spesilais juga tidak banyak. Keahliannya membutuhkan waktu yang panjang. Kepintaran adalah niscaya. Tapi, juga harus punya ketahanan emosional, daya juang, dan mental yang cukup. Plus keberuntungan.

Seluruh aktivitas mahasiswa kedokteran yang telah bergelar sarjana kedokteran dan menjalani pendidikan keprofesian dilakukan di rumah sakit. Pun demikian dengan dokter yang menjalani program pendidikan dokter spesialis. Hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah sakit.

Lalu, di mana peran universitas? Universitas berperan melakukan seleksi. Dan, di Indonesia mayoritas guru besar dan pengajar profesi dokter adalah pegawai universitas. Kemudian, berkembang saat ini sebagian staf pengajar juga berasal dari dokter staf rumah sakit. Universitas juga yang memberikan gelar profesi. Baik gelar dokter maupun dokter spesialis. 

Tentang university based harus bayar dan di hospital based malah dibayar?

Ya, model pendidikan dokter spesialis di university based memang berbayar. Tapi, bisa juga tidak. Toh, sejauh ini yang memiliki program pendidikan dokter spesialis adalah perguruan tinggi negeri. Tinggal Kementerian Pendidikan buat aturan khusus bahwa pendidikan dokter spesialis semua gratis. Selesai.

Untuk peserta program pendidikan dokter spesialis mendapatkan insentif, sudah ada aturannya, yakni UU 20/2013, tinggal direalisasikan. Sangat mudah. Problem kenapa belum mendapatkan insentif itulah yang harus diselesaikan. Dan, tidak dibutuhkan aturan baru. 

Tentang pendidikan dokter spesialis hospital based?

Bisa saja. Tapi, prosesnya tidak bisa instan. Banyak PR yang harus diselesaikan. Bagaimana standar rumah sakit yang layak sebagai rumah sakit pendidikan? Bagaimana proses seleksi calon peserta pendidikan dokter spesialisnya? Bagaimana standardisasi pengajarnya? Bagaimana kurikulumnya? Bagaimana proses monitoring dan evaluasi standar pendidikannya?

Sebab, jumlah rumah sakit jauh lebih banyak daripada jumlah universitas. Bisa ratusan, bahkan ribuan, yang akan menyatakan siap menjadi wahana pendidikan dokter spesialis. Kalau menjadi sangat longgar, lalu bagaimana kualitas lulusannya?

Jumlah produksi dokter spesialis di Indonesia harus ditingkatkan memang satu keniscayaan. Tapi, kualitas harus terjaga. Tidak bisa dinomorduakan. Profesi dokter ini tentang manusia. Tidak ada satu pun pasien di dunia ini yang mau ditangani dokter tidak kompeten. Manusia bukan benda coba. Manusia punya fungsi luhur, memori, keluarga, dan sisi spiritualitas yang harus dipahami. 

Saat ini proses penyelenggaraan academic health system (AHS) yang digagas menteri pendidikan dan menteri kesehatan akan berjalan. Produk SKB dua menteri. Universitas menjalankan proses pendidikan dokter spesialis dengan rumah sakit-rumah sakit jejaring yang dibinanya dengan standar yang ditetapkan kolegium. Jumlahnya bisa banyak. Bergantung kebutuhan. 

Tapi, kualitasnya tetap terjaga. Sebab, fakultas kedokteran/universitas sebagai pengampu pendidikan harus melakukan seleksi rumah sakit yang layak sebagai jejaring. Demikian juga dengan pengajarnya. Plus standar kurikulumnya. Dan, di ujung menjaga kualitas lulusannya.

Menambah produksi dokter spesialis sangat penting. Tapi, mekanismenya harus baik. Ada produksi. Seiring dengan hitungan ”based on demand” yang benar. Ada distribusi pemerataan yang kokoh unsur keadilan dan manfaatnya. Ada semangat penguatan kesejahteraan agar dokter Indonesia mampu bekerja, berkarya, dan terus update meningkatkan kualitas dan kompetensinya. 

Bagaimana dengan rencana pendidikan dokter spesialis hospital based di Indonesia?

Jawabnya bisa saja. Bahkan, sangat mungkin. Tapi, itu nanti. Ketika rumah sakit-rumah sakit di Indonesia sudah setara kualitasnya dengan rumah sakit di Inggris sana. (*) 

 

Kategori :