PASURUAN, Harian Disway - Suku Tengger tersebar di empat kota di Jawa Timur. Yakni Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Sebelum melakukan Yadnya Kasada di Gunung Bromo, mereka mengadakan berbagai tahapan upacara
Dua hari sebelum Kasada, mereka meletakkan sesaji di 25 titik di sekitar Gunung Bromo. Semua titik itu dipercaya merupakan petilasan atau tempat yang pernah dikunjungi 25 anak Joko Seger dan Roro Anteng, yang dianggap sebagai leluhur Suku Tengger.
"Istilahnya meminta izin. Bahwa anak-cucu hendak menghaturkan palawija dan palawiji dalam Yadnya Kasada pada tanggal limolas panglong siji bulan Kaso. Tahun baru kami yang menggunakan kalender Jawa," ujar Romo Dukun Pandita Puja Pramana, pemimpin peribadatan umat Hindu Tengger di Desa Ngadiwono, Tosari, Pasuruan.
Semalam menjelang tahun baru, yang dalam Masehi jatuh pada 4 Juni 2023, adalah momen bagi warga Tengger untuk menyiapkan sesaji. Di rumah atau di pinggir jalan di lingkungan desa, penduduk membakar arang dalam wadah-wadah, yang digunakan sebagai piranti upacara. Sebab tanggal 5 Juni, adalah tahun baru Kaso dalam kalender Jawa yang mereka gunakan.
Kemudian mereka yang hendak mengikuti upacara Yadnya Kasada berbondong-bondong ke rumah Romo Dukun Pandita di daerahnya. Untuk meminta air suci. Seperti terlihat di rumah Romo Dukun Puja. Ia memercikkan air suci di atas tangan warga yang menelungkup sebanyak tiga kali. Air itu diminum.
Air dipercikkan sekali ke kepala. Lantas potongan kuntum bunga yang ada dalam prasen atau cawan emas, diambil dan disematkan di telinga. "Tak lupa, warga bersama-sama menyantap hidangan nasi kabuli. Saya sudah siapkan," ungkap Romo Dukun Puja. Ia pun menawari Harian Disway untuk makan bersama warga.
Nasi kabuli bukanlah nasi kebuli seperti di Timur Tengah. Hidangan itu berupa nasi kuning dan nasi putih, lauk pauk, sayuran, opor ayam, sambal goreng kentang dengan tambahan bihun dan mi goreng. Menyantap nasi kabuli sambil berharap lewat doa. Supaya apa yang jadi keinginan dapat kabul atau dikabulkan oleh Tuhan.
Jelang pukul 10 malam, para warga Ngadiwono berkumpul di rumah Romo Dukun Puja. Mereka membawa alat musik dan beberapa palawija. Tahun ini mereka tak membawa hongkek atau hasil bumi yang ditata sedemikian rupa, di kanan dan kiri, kemudian dibawa dengan cara dipanggul. Karena ada satu warga desa Ngadiwono yang meninggal dunia, dalam bulan Kaso atau bulan pertama dalam kalender Jawa. (*)