SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pada 19 Juni 2023 tadi malam, terjadi gempa berkekuatan 4,6 magnitudo. Berdasarkan catatan BMKG stasiun meteorologi kelas I Juanda, Sidoarjo, pusat gempa berada di darat, 10 kilometer timur laut, Kabupaten Mojokerto. Dengan kedalaman 9 kilometer.
Beberapa daerah merasakan gempa tersebut. Di antaranya Mojokerto, Pasuruan, Surabaya, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, dan Lawang.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo mengatakan, gempa yang terjadi kemarin malam itu, tidak termasuk 285 sesar aktif yang terdata di Indonesia.
BACA JUGA: Gempa Terkini 4,8 M (Magnitudo) Guncang Wilayah Trenggalek Jawa Timur
“Ini sesar baru. Masih belum terdaftar memang. Belum ada penelitiannya terkait gempa Mojokerto,” katanya saat dihubungi, Selasa, 20 Juni 2023.
Amien minta pemerintah segera melakukan kajian terhadap sesar-sesar baru. Sehingga dapat dilakukan pemetaan dan mitigasi bencana kedepannya. Apalagi saat ini, kerap terjadi gempa darat yang berpusat dari sesar baru.
“Kalau pusatnya di darat semua, itu sangat berbahaya. Mestinya ada penelitian. Dicari pusatnya. Mengingat seperti di Cianjur juga sama. Titik gempa terjadi bukan di daerah yang terdaftar,” ungkapnya.
Di Surabaya sendiri, ada dua sesar aktif: Sesar Surabaya dan Sesar Waru. Secara geologis dan tektonik wilayah Kota Surabaya dan Madura berada pada jalur zona sesar aktif.
BACA JUGA: Gempabumi Pacitan, Tidak Berpotensi Tsunami
Berdasarkan catatan sejarah kegempaan, jalur Sesar Kendeng pernah memicu terjadinya gempa bumi merusak di Mojokerto pada 1836 dan 1837. Lalu di Madiun di 1862 dan 1915. Serta Surabaya 1867.
Sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, dan Sakala) juga pernah memicu terjadinya gempa bumi merusak Rembang-Tuban di 1836, Sedayu 1902, Lamongan 1939, Sumenep pada 13 Juni 2018 dan 11 Oktober 2018 .
“Gempa-gempa yang pernah terjadi tersebut mempengaruhi Kota Surabaya. Salah satunya Gereja Santa Perawan di Jalan Kepanjen Morokrembangan. Gereja Merah dan direhabilitasi gereja yang retak karena gempa tahun 1867,” kata dia.
Menurutnya, gempa tidak membunuh. Tapi, bangunannya yang bisa membunuh. Karena itu, ia juga menyarankan agar pemerintah membuat peta kawasan berisiko tinggi, sedang atau rendah.
“Berdasar peta risiko tersebut, bisa menjadi dasar untuk mitigasi atau pengurangan risiko gempa. Untuk bangunan baru sudah harus mengikuti syarat bangunan tahan gempa,” ungkapnya. (*)