Sementara itu, Ganjar berangkat dari rekam jejak bagaimana ia mengembangkan kota-kota di provinsinya. Sambil membandingkan dengan proyeksi ekonomi ke depan, ia yakin bahwa pemerintahan yang bersih akan mampu melahirkan inovasi yang optimal untuk kemajuan.
Dua pandangan barangkali dianggap sepele. Tapi, menggambarkan paradigma berbeda dalam memandang Indonesia. Apalagi, setelah membuat kesimpulan tentang ketimpangan antarkota itu, Anies mengajukan solusi dengan gagasan membentuk kementerian perkotaan. Saya belum tahu, apa peran dan fungsi kementerian baru itu kelak.
Apa yang dikemukakan Anies itu memperkuat tesis saya bahwa membangun Indonesia dari daerah akan lebih ideal untuk bangsa Indonesia yang demikian besar. Terlalu besar, bangsa ini jika hanya diurus dari Jakarta. Terlalu kompleks jika Indonesia hanya diatur hanya oleh pemerintah pusat.
Kita telah punya pengalaman 32 tahun dengan sistem pemerintahan yang sentralistis. Saat Indonesia dalam rezim pemerintahan Orde Baru. Hasilnya adalah ketimpangan yang jauh lebih parah. Bahkan, pemerataan infrastruktur baru mulai terwujudkan saat negeri ini dipimpin presiden yang pernah punya jalur karier dari memimpin kota dan provinsi seperti Joko Widodo.
Karena itu, terlalu berisiko jika menggunakan paradigma sentralistis kembali untuk membangun Indonesia ke depan. Bahkan, paradigma mengatasi ketimpangan kemajuan antarkota dengan membentuk kementerian baru mengandung benih resentralisasi. Akan lebih baik jika menambah kewenangan pemimpin daerah untuk memajukan wilayah masing-masing. Parameternya adalah inovasi.
Pemaparan Ganjar di depan para wali kota lebih mengandung paradigma desentralisasi. Apalagi, ia sudah mempraktikkan hal tersebut ketika memimpin Jawa Tengah. Tinggal problemnya bagaimana mengadopsi contoh-contoh sukses di daerah menjadi sebuah kebijakan nasional. Kebijakan yang memberikan ruang inovasi kepada daerah dengan kerangka besar rencana pembangunan nasional.
Pemerintahan berbasis desentralisasi ditambah dengan mewujudkan pemerintahan yang bersih bisa lebih menjanjikan. Desentralisasi dengan bertumpu pada indikator inovativeness akan mendorong adanya kemajuan. Inovasi akan merangsang adanya kompetisi dan kompetisi hampir pasti akan melahirkan kemajuan. Itu rumus dasarnya.
Di awal otonomi daerah, ada lembaga yang secara khusus mendorong inovasi dalam paradigma otonomi daerah. Lembaga itu bernama Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP). Lembaga tersebut didirikan untuk menjaga agar desentralisasi tidak kembali ke sentralisasi.
Kebetulan saya ikut mendirikan dan mempimpin lembaga tersebut. Setiap tahun lembaga itu menggelar monitoring dan mengompetisikan hasil monitoring tersebut antardaerah. Hasilnya, kompetisi terjadi antarkepala daerah untuk menjadi lebih maju.
Rasanya menjadi usang kalau kita mau mengembalikan pembangunan daerah dengan paradigma resentralisasi. Sebaliknya, akan lebih ideal jika menggunakan paradigma desentralisasi. Pemerintah pusat tinggal memberi frame berupa arah pembangunan nasional dalam konteks persaingan dalam dunia global.
Saya tetap bersikukuh dengan tesis bahwa kepemimpinan nasional harus diambil dari mereka yang pernah memimpin daerah. Dengan demikian, mereka akan lebih punya empati dan mengetahui kesulitan-kesulitan di daerah. Bukan mengatasi ketimpangan dengan cara berpikir pemerintah pusat yang sentralistis.
Desentralisasi harus tetap menjadi paradigma dalam membangun Indonesia ke depan. (*)