Baru-baru ini juga banyak diskusi tentang solusi transisi energi, yang diperkuat dengan adanya pendanaan untuk Indonesia dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, apakah kita sudah melibatkan semua pihak, terutama yang paling rentan, dan memastikan inklusivitas?
Apakah dalam merancang kebijakan kita sudah menerapkan prinsip "Just" dari JETP? Pada dasarnya, penerapan kebijakan transisi energi yang tidak memperhitungkan inklusivitas berpotensi menciptakan ketimpangan yang baru. Pada akhirnya, kita akan melihat adanya pihak yang "menang" dan pihak yang "kalah" dalam upaya transisi energi ke depan.
Ah, hal tersebut dibahas lain kali saja.
Sastyaveani Rhea Revansyah Alumni Zhejiang University of Technology. Member of Disway Internship Program Batch II.-Dok Pribadi-
Emisi gas rumah kaca global harus mencapai nol pada tahun 2050. Hal ini hanya bisa tercapai jika kita berhenti menggunakan energi fosil, menjaga dan meningkatkan tutupan hutan, serta mendesain ulang sistem manufaktur agar lebih sirkular.
Pada saat yang sama, kota dan desa perlu membangun kembali infrastruktur yang tahan terhadap bencana iklim. Sebagai makhluk bumi yang bertanggung jawab, kita perlu memastikan bahwa dalam proses ini kita juga berkontribusi untuk memperbaiki dan tidak memperparah ketimpangan sosial-ekonomi.
Selama pendanaan hijau masih dianggap sebagai inisiatif terpisah dari keseluruhan pendanaan publik dan privat yang sudah seharusnya hijau, kita tidak akan pernah mencapai perubahan yang seharusnya terjadi.
Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan tidak ada lagi "pendanaan hijau", karena seharusnya semua pendanaan secara default sudah hijau. Pendanaan yang berkontribusi pada sektor cokelat seharusnya dianggap ilegal karena membahayakan eksistensi seluruh umat manusia. (*)
Penulis: Sastyaveani Rhea Revansyah Alumni Zhejiang University of Technology. Member of Disway Internship Program Batch II.