SURABAYA, HARIAN DISWAY - Masih dalam rangkaian Surabaya Cross Culture International Folk Art Festival, hari ketiga Citraland Superfest juga tak kalah semarak. Sebagian besar performance menyajikan tari dan musik tradisi.
Busana dalaman putih dengan rompi ungu muda. Penutup kepala berwarna sama dengan hiasan tekukan kain seperti bunga sedang mekar. Seorang di antaranya mengenakan topi bundar dengan hiasan bunga putih yang lebih besar dan lebar, daripada yang lainnya.
Indonesia sedang demam Korea. Maka ketika para penampil dari Korea Selatan itu dipanggil untuk tampil, tepuk tangan dan sorakan bergemuruh. "Gimpo Nongak from Preservation Society and Neulchum Dance Group, South Korea!," ujar host.
BACA JUGA:Surabaya Cross Culture International Folk Festival (1): Disambut Lagu Surabaya Oh Surabaya
Mereka tak menyajikan K-pop atau jenis kesenian modern. Namun para penampil itu ingin mengenalkan seni tradisi mereka ke khalayak Indonesia, juga bagi pengunjung dan penampil dari berbagai negara lain. Meski begitu, itu tak mengurangi antusiasme publik. Utamanya anak-anak muda.
Berjajar, beberapa orang terlebih dulu masuk ke depan areal tamu VIP. Masing-masing membawa alat musik seperti kendang. Dibunyikan bertalu-talu, diiringi dengan pemandu tempo seperti cymbal. Pemusik pria membunyikan alat yang bernada seperti saronen ala reyog Ponorogo.
Barisan paling depan membawa kain yang dibentangkan vertikal. Bertuliskan aksara Korea. Setelah memberi hormat, mereka pun naik ke atas panggung. Tiap orang mempertontonkan keahlian memukul kendangnya masing-masing.
Musik pengiringnya pun musik tradisional ala Korea. Rancak, bersemangat. Salah satu dari mereka mengenakan penutup kepala dengan seutas tali panjang berwarna putih. Ketika kepala pemain diayunkan ke kiri dan kanan, tali itu meliuk dengan indah. Menciptakan daya estetik yang gemulai.
Pada akhir pementasan, seorang penari berpenutup kepala bulat, melepas penutup kepalanya itu. Kemudian memutar-mutarnya dengan sebilah tongkat kecil. Warnanya yang putih-merah memunculkan impresi warna ketika benda itu berputar.
Bahkan ia melemparnya beberapa kali, kemudian menangkapnya lagi menggunakan tongkat itu. Masih tetap berputar. Tanpa berhenti dan tidak jatuh. Butuh keahlian khusus untuk memainkan itu. "Selama tiga bulan. Ya, tiga bulan kami berlatih tarian itu," ujar Jang Mihwa, pemimpin kelompok.
Komposisi pertunjukan mereka berjudul Gimpo Nongak. Sedangkan pakaian yang dikenakan namanya Nongak Bok. Komposisi Gimpo Nongak terdiri dari berbagai macam elemen kolaboratif. Baik tari, teater, dan musik. Dalam komposisi itu terdapat lagu berjudul Pan Gut. Lagu tradisional yang fungsi awalnya adalah untuk doa dan harapan.
Korea Selatan masa lalu, masyarakatnya mayoritas bertani. Maka saat menanam, mereka menyanyikan lagu itu. Sembari berharap agar hasil panen mereka melimpah. “Tapi sekarang, Gimpo Nongak dan Pan Gut berfungsi sebagai sarana hiburan.
Mamlakat Ulasheva (kanan) bernyanyi diiringi tarian dari kelompoknya. Menghibur pengunjung Citraland Superfest Surabaya. -Sahirol Layeli-
Pun untuk pelestarian seni tradisi di negara kami,” ungkap Jo Donggyu, salah satu penari. “Bendera kami ini, aksara Korea. Jika dibaca: Gimpo Nongak,” ujar Hong Mirim, sembari menunjuk bendera yang dibawa oleh rekannya.
Para tamu seniman dari Korea Selatan itu merupakan bagian dari acara Citraland Superfest yang menampilkan pementasan seni tradisi dari berbagai negara. Diselenggarakan pada Selasa, 18 Juli 2023 di Gwalk Surabaya.
Mereka mengapresiasi acara itu. “Kami gembira bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara. Untuk pertunjukan, satu sama lain memang berbeda. Tapi secara bunyi dan gerak, ada kesamaan. Luar biasa,” ujar Yun Jiah, member kelompok Korea Selatan.