Kedua, punya niat untuk meningkatkan empati budaya. Ketiga, menciptakan lingkungan hidup yang lebih empatik. Keempat, mengurangi fokus pada perbedaan dan pelabelan atau identitas. Kelima, meningkatkan fokus pada rasa kebersamaan atau persatuan.
Seumpama dibalik, kita fokus meningkatkan atau mempermasalahkan perbedaan, berarti kita lemah empati. Kurang, atau tidak, memperhatikan perasaan orang lain. Asalkan kita senang (melakukan atau mengatakan sesuatu), orang lain biar saja mati. Tak peduli.
Sikap itu akan ditanggapi orang lain (lawan) dengan sikap yang sama. Pasalnya, tidak seorang pun mau saja dihina atau disakiti. Pasti melawan. Akibatnya perang. Habis-habisan.
Dalam kasus Asep versus Setya, teori mirror neurons masuk. Mereka sama-sama ”orang susah” dan mirror neurons mereka juga sama-sama lemah. Setya –meski berniat baik (nasihat), tapi karena kurang empati– menyinggung perasaan Asep.
Sebaliknya, Asep –cuma ”dijundul” jidatnya– pun membalas dengan menikam Setya bertubi-tubi. Mirror meurons milik Asep lebih lemah lagi daripada Setya. Akibatnya, ”jadilah itu barang”.
Manusia hidup dengan koridor moral yang tidak terlihat. Tapi, jelas ada. Dan harus dipatuhi. Oleh orang kaya maupun miskin. Tua atau muda. Mutlak wajib patuh. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya. Mati atau dihukum mati. (*)