Hanya ada dua kemungkinan anak dari seseorang bisa menghayati perjalanan hidup orang tuanya. Pertama, karena keberhasilan orang tua dalam mewariskan nilai-nilai kepada generasi penerusnya. Kedua, karena sang anak melihat sosok orang tuanya sebagai idola yang sangat kuat.
Alberthiene sebagai penulis buku juga luar biasa dalam menarasikan perjalanan hidup Arief. Dia berhasil menggali kisah pengusaha yang juga tokoh umat Buddha itu dari cerita orang lain, meski itu keluarganya. Deskripsinya hidup, seakan kita diajak mengikuti perjalanan hidup Arief Harsono dengan lancar dan enak dibaca.
Dia berhasil mendeskripsikan karakater Arief yang gigih, pekerja keras, dan komit terhadap keluarga maupun kepada siapa pun yang pernah bersinggungan dengannya. Kegigihan, keteguhan, dan komitmen tinggi itu bertemu dengan keberuntungan-keberuntungan yang membawa Arief dari sosok orang kampung menjadi tokoh nasional.
Perjalanan anak kampung yang memilih menjadi padagang kopra seperti ayahnya selepas lulus SMA sampai menjadi tokoh yang mendirikan program magister manajemen di Jakarta bersama UGM. Ia pun sempat menjadi mahasiswa UGM dan bersahabat sampai akhir hayatnya dengan para rektornya.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengenal dengan baik Arief Harsono karena program tersebut. Lantas, bersambung ketika Arief aktif ikut berkontribusi terhadap negara dalam mengatasi pengungsi Rohingya. ”Juga, merelakan risiko ditinggalkan pelanggan ketika mengalihkan gas idustrinya untuk oksigen selama pandemi,” tuturnya.
Rachmat Harsono, anak tertua pasangan Arief Harsono dan Grace Peradhana, harus berhenti bicara menahan tangis saat menyampaikan sambutan keluarga. Ia mengaku tak mendapat wasiat atau pesan-pesan khusus ketika Arief meninggal karena Covid-19. Namun, ia pernah diberi buku yang ada kata-kata khusus di lembar depannya. Buku itu berjudul Surat-Surat Seorang Usahawan kepada Putranya. Buku yang ditulis G. Kingsley World.
Ayahnya mengutip kata-kata Epictetus yang hidup pada 120–50 SM. ”Ingatlah, dalam kehidupan ini, kau perlu bersikap seperti di dalam sebuah pesta. Jika sesuatu ditawarkan kepadamu, julurkanlah tanganmu dan ambillah sepotong dengan sopan,” ujar Rachmat membacakan tulisan tangan ayahnya.
”Kemudian, teruskanlah hal itu kepada orang di sebelahmu, jangan ditahan. Atau, jika ia belum sampai kepadamu, makan jangan perlihatkan betapa kau sudah tidak sabar mengambilnya. Tunggulah sampai hal itu tiba di hadapanmu. Begitu jugalah hendaknya sikapmu terhadap anak-anak, istri, pekerjaan, dan kekayaan,” lanjutnya.
Dalam tulisan tangannya, Arief melanjutkan kata-kata Epictetus tentang rahasia keberhasilan hidupnya yang penuh kebahagiaan. Apa kata-kata yang dikutip Arief untuk pegangan anak-anaknya?
”Saya tidak percaya akan reinkarnasi. Tapi, jika nanti saya ’tiba di sana’ dan ternyata reinkarnasi itu memang ada, saya akan minta agar dikirim kembali ke bumi ini sebagai anakmu. Dan saya yakin, saya pasti bahagia memiliki ayah seperti kau (kau boleh mengukir kata-kata yang terakhir ini di batu nisan saya),” tulisnya.
Malam itu, di acara peluncuran biografi Arief Harsono itu, saya menyaksikan potret perjuangan seorang pengusaha yang sukses membangun kerajaan bisnisnya dari bawah. Juga, potret seorang ayah dalam membangun keluarga yang berbasis penghormatan kepada orang tua sekaligus menjadikan hidupnya bermanfaat untuk orang lain.
Saya yakin, Arief Harsono bukan hanya cermin bagi penerusnya. Melainkan, juga cermin bagi keluarga pengusaha lainnya. Arief bukan hanya Bapak Oksigen Indonesia. Melainkan, juga oksigen untuk banyak orang yang pernah bersinggungan dengannya. (*)