TAK bisa dibayangkan suasana basa-basi antara Luhut Pandjaitan dan Airlangga Hartarto bila bertemu di sidang kabinet atau pertemuan menteri. Itu karena Luhut menyatakan siap menjadi ketua umum Golkar.
Padahal, di sidang kabinet, keduanya tentu duduk berdampingan atau berdekatan. Keduanya kan sama-sama menjabat menko (menteri koordinator).
Dalam sebuah wawancara, Luhut menyebut Golkar itu sudah seperti menjual diri ke mana-mana –terkait sikap politik Golkar dalam menentukan capres. Itulah kemudian yang membuat Luhut menyatakan siap menggantikan Airlangga di pucuk beringin.
Luhut juga memberikan syarat: kalau dihendaki (warga Golkar) dan berlangsung damai. Syarat semacam yang dilontarkan Luhut itu juga sering terdengar, baik itu di berbagai parpol atau organisasi mana pun, bila ada yang ingin mengganti nakhoda.
Calon lain yang muncul adalah Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Bahkan, sudah ada yang mengusulkan nama Presiden Jokowi. Adalah Ketua Forkom Aktivis Golkar Lisman Hasibuan yang mengusulkan Jokowi sebagai ketum sebelum pilpres dan pileg 2 Februari 2024.
Akankah ada pergantian ketum Golkar dalam waktu satu atau dua bulan ini? Sebelum pendaftaran capres? Airlangga sudah menyatakan tidak akan ada munaslub 2023. Kalau ada yang ingin jadi ketua umum, katanya, tunggu munas 2024.
Posisi politik Golkar sendiri dalam peta pilpres masih mengambang. Koalisi Indonesia Baru (KIB) yang dibangun bersama PAN dan PPP bisa dibilang sudah karam. PPP sudah memilih jalan gabung PDIP dan mengusung Sandiaga Uno sebagai cawapres. PAN sudah memosisikan diri mengusung Erick Thohir sebagai cawapres.
Golkar yang sendirian tentu sudah tidak bisa punya tiket lagi. Apalagi, Airlangga yang telah ditetapkan sebagai capres atau cawapres belum menunjukkan elektabilitas yang moncer.
Gerakan mengevaluasi Airlangga itu baru mencuat ke publik setelah Golkar mulai melirik opsi bergabung dengan Koalisi Perubahan Anies Baswedan. Indikasinya, Airlangga menemui Jusuf Kalla yang dikenal publik sebagai mentor Anies.
Indikasi lain, sejumlah elite Golkar hadir di acara Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem. Termasuk yang hadir Waketum Rizal Mallarangeng dan salah seorang Ketua Cristina Aryani. Mereka berbaur dengan tokoh Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS.
Lantas, lewat pintu manakah Airlangga ”dipinggirkan”. Opsi pertama pintu munaslub. Itu tentu tak mudah. Sebab, kubu pendukung Airlangga di daerah juga masih kuat.
Opsi kedua, tapi ini lebih pada bersifat implikasi. Airlangga baru saja diperiksa Kejaksaan Agung sebagai saksi kasus izin ekspor minyak goreng. Andai kemudian dalam perkembangannya status Airlangga berubah jadi tersangka, itu akan mempermudah jalan kubu yang ingin menyingkirkan Airlangga.
Karena itu, goyangan yang menerpa beringin tersebut bisa jadi sangat serius.
Kalau dilihat perjalanannya, Golkar ibarat kapal besar yang selalu dihantam gelombang setiap menjelang pilpres. Pada 2004, misalnya. JK, kader berpengaruh, memilih gabung SBY. Setelah menjadi wakil presiden, JK pun mengambil alih Golkar.