HARIAN DISWAY - Banyak catatan dengan pencapaian Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati. Sebagai guru besar yang keempat yang dimiliki oleh Departemen Antropologi FISIP Unair, harus ada guru besar lagi yang menyusulnya.
Tak mudah menjadi guru besar. Karena itu Totok -panggilannya- tak segera menyanggupi dorongan Prof Dr Habil Josef Glinka untuk menjadi guru besar karena banyak hal yang harus ia selesaikan. Totok sendiri ingin menekuni idealismenya di bidang antropologi ragawi dulu. ”Tak ada target kapan tapi aku berpatokan biarlah aku tertancap dulu. Sampai ketika aku mantap di bidang yang aku kuasai dan sudah berbuah, barulah itu saat yang tepat,” katanya. Namun, ketika Prof Glinka meninggal lalu disusul dengan pater Pikor juga meninggal, Totok baru menyadari bahwa dia tak bisa menunda-nunda lagi. Menurut Dekan FISIP Unair Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si, selain banyak syarat yang harus dipenuhi, juga banyak kendala. Utamanya lebih banyak persoalan psikologis. ”Banyak dosen FISIP enggan menulis karena mereka berpikir tidak mau menulis semata karena ingin jabatan. Sebagian lagi karena tidak memiliki waktu untuk menulis. Jadi beda dosen beda sebab,” terang Prof Bagong yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 2017.Kekompakan Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati dan rekannya Rusyad Adi Suriyanto dalam sebuah penelitian. -Rusyad AS-
Karena itu, pencapaian Totok -panggilan Toetik- sangat diapreasiasi rekannya Rusyad Adi Suriyanto, S.Sos., M.Hum. Dalam sambutan testimoninya saat pengukuhan totok sebagai guru besar di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus C Unair, pada 27 Juli 2023 , Rusyad menunjukkan arti besar Totok bagi perkembangan antropologi ragawi. ”Ia adalah perempuan pertama Indonesia yang menduduki jabatan guru besar bidang paleoantropologi. Beliau juga guru besar paleoantropologi pertama Indonesia yang berlatar belakang pendidikan sarjana antropologi,” katanya.
Karena itu, menurut dosen di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, dan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, FK-KMK Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu, keberadaan Totok sangat penting untuk mengisi kekurangan ahli paleoantropologi di Indonesia. Kepada hadirin, Rusyad menjelaskan tentang keberadaan Indonesia sebagai salah satu tempat yang sangat penting di dunia bagi bukti-bukti evolusi dan persebaran manusia di bumi ini. ”Di sini sangat kaya akan temuan-temuan manusia purba dan kuno. Bisa dikatakan setengah jumlah fosil homo erectus yang hidup dalam masa pleistosen di bumi ini ditemukan di Jawa. Yang bisa menandingi jumlah temuannya hanya Afrika -di sini beberapa negara- dan Tiongkok. Homo erectus dari Kepuh Klagen, Wringinanom, Gresik, adalah salah satu homo erectus yang tertua, yang berasal dari masa Pleistosen Bawah yang berumur sekitar 1, 8 juta tahun yang lalu. Fosil Kepuh Klagen ini seorang anak balita. Bukti kehidupan terakhir Homo erectus ditemukan di Ngandong, Blora, Jawa Tengah, sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Dua spesies hominid yang belum pernah ditemukan di belahan bumi mana pun ada di Indonesia, yakni Meganthropus paleojavanicus dari Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, dan homo floresiensis dari Manggarai, Flores. Sejauh ini temuan-temuan manusia (homo sapiens) kuno terus makin bertambah yang berasal dari situs-situs yang membentang mulai dari Aceh sampai Papua, dari masa awal Holosen, beberapa ratus tahun yang lalu. Kekayaan materi ilmiah ini tidak sebanding dengan jumlah ilmuwannya. Jadi tidak perlu heran, mereka yang banyak melakukan penelitian ini adalah para ilmuwan asing dari beragam bidang ilmu terkait dengan evolusi dan persebaran manusia: ahli paleoantropologi, paleontologi, geologi secara umum, antropologi, arkeologi, genetika populasi manusia, dan seterusnya. Di Indonesia, jumlah ahli paleoantropologi itu tidak pernah melebihi jumlah jari-jari di satu tangan kita.
Ahli paleoantropologi yang berkompetensi dalam identifikasi profil biologis manusia berdasarkan tulang dan gigi juga berkontribusi untuk memberikan pelayanan dalam identifikasi kasus-kasus forensik. Terutama terhadap jenazah-jenazah yang sudah tidak bisa dikenali karena bukti-bukti jaringan lunak dan asesoris badannya telah hilang atau benar-benar rusak. Mereka membantu dalam mengungkap identitas jenazah-jenazah dari banyak kasus forensik, antara lain kecelakaan pesawat, kapal, angkutan darat, kriminal dan seterusnya. Jadi mereka berkiprah sebagai ahli antropologi forensik. Di Indonesia, ahli antropologi forensik ini jumlahnya tidak pernah melebihi jumlah jari-jari di satu tangan kita.
“Tak berlebihan, ibaratnya Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati ini adalah sejenis makhluk sangat langka. Jadi kita mesti memberikan perhatian ekstra. Dalam bahasa kami, beliau ini perlu dikonservasi; dalam artian kita peduli atas inisiatif, pemikiran dan karyanya,” katanya. BACA JUGA:Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (11): Mimpi si Petani Bunga
Rusyad termasuk orang-orang yang banyak membantu Totok menuju guru besar. Sebelumnya, Rusyad sering bersama Totok dalam melakukan penelitian lapangan dan laboratorium, publikasi, dan membimbing para mahasiswa Departemen Antropologi FISIP Unair dalam PKL paleoantropologis di beragam lokasi di Jawa Timur. Atas pencapaiannya, Rusyad berharap Totok makin bersemangat dan tetap rendah hati untuk mengantar para mahasiswanya -generasi muda kita- menekuni bidang ilmu sangat unik paleoantropologi dalam rumah Indonesia yang sangat kaya temuan-temuan dan situs-situs paleoantropologis. ”Saya juga berharap beliau makin bersemangat untuk mengembangkan paleoantropologi di Departemen Antropologi FISIP Unair. Satu-satunya Departemen Antropologi dan minat dalam pendidikan sarjana di Indonesia yang menyediakan dan menyelenggarakan pilihan minat paleoantropologi,” tegas adik angkatan Totok di Program Studi Antropologi FISIP Unair itu. (*) Indeks: Memantapkan diri dalam pengabdian di bidang antropologi ragawi, baca selanjutnya…