Takiyuddin mengatakan, total 7.209 kasus terdeteksi di Malaysia selama empat tahun. Perinciannya, 610 kasus pada 2018, 1.043 kasus pada 2019, 2.465 kasus pada 2020, dan 3.091 kasus pada 2021.
Dari angka-angka itu, tren pencurian listrik untuk penambangan kripto terus naik signifikan setiap tahun.
Takiyuddin: ”Peningkatan kasus merupakan tren yang mengkhawatirkan karena tidak hanya berdampak pada industri energi dari segi nilai, tetapi juga stabilitas sistem pasokan listrik dan keselamatan masyarakat.”
Dilanjut: ”Penggunaan mesin penambangan cryptocurrency bertenaga tinggi secara ekstrem, 24 jam nonstop, dapat menyebabkan korsleting karena penggunaan sekring yang tidak standar dan beban melebihi kapasitas kabel, hingga berisiko menimbulkan kebakaran.”
Bagaimana di Indonesia?
Kompol Hadi: ”Perdagangan kripto sejauh ini memang belum ada aturannya. Namun, kasus pencurian listrik sudah meresahkan. Ada tiga tempat di Depok.”
Sebab itu, pelaku belum ditahan polisi. Sebab, belum ada aturan hukum terkait penambangan kripto. Namun, untuk pencuri listrik, ada hukumnya.
Di Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, disebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum mengambil, menggunakan, atau menyebabkan terambilnya atau terpakainya listrik yang dipasok oleh PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) dapat dihukum dengan pidana penjara dan/atau denda.
Dilanjut ke Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2009, disebutkan bahwa pelaku pencurian listrik dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Tapi, ya sudahlah… Itu cuma pencurian listrik. Nilai kerugian negara belum dikalkulasi. Di Massachusetts kerugian USD 18.000. Pelaku dipenjara. Jauh lebih kecil daripada kerugian negara akibat korupsi BTS di Kemenkominfo yang kerugiannya Rp 8,03 triliun. (*)