Menentukan destinasi wisata kota di Surabaya bisa saja sepele. Para tamu bisa diantar menuju lokasi tertentu di kota. Namun, penentuan objek menjadi hal serius ketika dihubungkan dengan pengakuan dan kesan pengunjung. Apa sebaiknya yang ditawarkan?
Surabaya -kota metropolis yang menyandang berbagai sebutan- sering dikunjungi banyak orang dari luar negeri. Para tamu pemerintah maupun korporasi bertujuan melaksanakan agenda kelembagaan dan bisnis.
Setelah kunjungan resmi terlaksana, ke mana para tamu diantar untuk mengetahui detail kota? Preferensi setiap individu berbeda-beda. Tetapi sebagai tuan rumah tentu akan memberikan alternatif.
Ada tiga kategori destinasi wisata yang utama, yaitu lingkungan fisik buatan/alamiah, sejarah, dan budaya. Masing-masing kategori memiliki berbagai rincian nama: wisata alam, wisata kuliner, wisata religi, dan wisata belanja.
BACA JUGA: Peneleh Buka Gerbang Wisata Kampung, Digagas Jadi Pelopor Pengembangan Kampung Lain
Bila diajak mengunjungi infrastuktur kota modern, mungkin itu bukan hal yang menarik perhatian. Ruang-ruang modern, seperti mal, gedung-gedung tinggi, jaringan transportasi, merupakan objek biasa, terdapat di banyak kota, dan pengalaman sehari-hari individu di lingkungan kota metropolis.
Setiap kota-kota modern berlomba memfasilitasi infrastruktur untuk warga supaya mendapatkan kemudahan dan kenyamanan. Bangunan modern yang tidak spektakuler cenderung tidak dapat diceritakan dan tidak mengesankan dalam memori.
Tujuan banyak orang berkunjung ke suatu tempat adalah mendapatkan pengalaman baru yang berbeda dengan lingkungan asal. Ketika tuan rumah dihadapkan dengan kondisi ini, maka keunikan wisata Surabaya adalah destinasi sejarah dan budaya.
Surabaya merupakan kota lama yang mempunyai jangkauan waktu lampau yang panjang. Pada awal abad ke-17, berdasarkan teks klasik dan cerita lisan disebutkan bahwa Surabaya mempunyai istana (kraton) dan tembok-tembok batas istana.
Namun, arkeolog dan sejarawan tidak mampu merekonstruksi sisa artefak ini untuk dihadirkan pada masa kini. Warisan yang tersisa adalah toponimi kampung yang menegaskan permukiman bangsawan dan penduduk, seperti Maspati, Kranggan, Tumenggungan, dan Pranan (Lombard, 2000).
Toponimi itu masih melekat hingga kini sebagai dasar bangunan identitas masyarakat kota. Otoritas kota kolonial pada kisaran abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mengembangkan Surabaya menjadi dua kawasan, yaitu kawasan kota lama atau kota bawah (benedenstad) dan kota baru atau kota atas (bovenstad).
Kawasan kota lama dengan sisa-sisa gedung di sekitar jembatan merah masih mencirikan kolonial. Deretan bangunan-bangunan kolonial dan kampung-kampung perkotaan yang masih menyisakan politik segregasi colonial. Misalnya kampung Pecinan dan kampung Arab, masih menarik untuk ditelusuri. Ini menunjukkan kekhasan kawasan sebagai destinasi wisata sejarah.
Wisata sejarah lebih spesifik pada objek tertentu dapat diarahkan pada peninggalan kolonial. Tinggalan bangunan kolonial yang istimewa adalah gedung societeit sebagai representasi dan penanda gaya hidup eksklusif kelompok elite Belanda pada pertengahan abad ke-19 hingga runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda.
Elite penduduk asli (Jawa) sesungguhnya juga mempunyai societeit, tapi tinggalan artefak bangunan tidak terindentifikasi. Istilah societeit merujuk pada gedung yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan hiburan dan relaksasi yang hanya dihadiri oleh anggota perkumpulan.
Kota Surabaya sesungguhnya memiliki empat gedung societeit besar, yaitu Concordia (1826), De Club (1850), Modderlust (1856), dan Simpang Societeit (1907).