Para pekerja yang sejahtera –misalnya di BUMN– tak lagi menuntut kenaikan upah. Serikat pekerja BUMN menuntut hal yang menyangkut kebijakan strategis manajemen dan pemerintah. Itu bisa dilihat dari tuntutan SP Semen Gresik, SP Indosat, SP Bank Mandiri, dan sebagainya. SP Bank Mandiri, misalnya, pernah menuntut pergantian direksi.
Tuntutan pada hal-hal yang bersifat kebijakan strategis itu memang bisa dimaklumi. Sebab, mereka umumnya berpendidikan tinggi, hidup berkecukupan, pintar, berwawasan luas, dan terlibat langsung dalam kebijakan manajemen. Posisi tawar mereka kepada perusahaan juga cukup tinggi.
Di beberapa perusahaan, SP menjadi kekuatan tersendiri yang membuat posisi karyawan menjadi sangat kuat. Mereka melakukan tawar-menawar, termasuk membuat kesepakatan kerja bersama (KKB) dengan manajemen. Dengan posisi tawar itu, nasib karyawan menjadi makin jelas. Sebab, setiap ketidakjelasan kebijakan, baik hal-hal normatif maupun kebijakan strategis, akan langsung direaksi oleh karyawan lewat SP yang cukup kuat itu.
Dengan begitu, SP bisa menjadi kontrol yang baik terhadap manajemen. Termasuk kontrol terhadap kebijakan strategis. Hasil demonstrasi yang nyata adalah tuntutan SP Jamsostek menjungkalkan Dirut Iwan P. Begitu juga sukses Sekar Telkom Divre IV membatalkan transaksi silang dengan Indosat beberapa tahun lalu.
Sebagai pekerja terdidik, SP BUMN tahu bahwa mereka memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pemilik modal yang dalam hal BUMN adalah pemerintah. Mengapa? Sebab, kini karyawan bukan sekadar faktor produksi, melainkan merupakan aset berharga yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan laba dan meningkatkan kekayaan pemegang saham. Karyawan merupakan human capital yang sangat berarti.
Melihat begitu pentingnya posisi karyawan itu, para ahli manajemen pun menawarkan banyak konsep kepemilikan saham oleh karyawan (ESOP/employee stock option program) agar karyawan juga bisa ikut memiliki perusahaan. Dengan menjadi pemilik perusahaan, keuntungan perusahaan juga akan dinikmati juga oleh karyawan. Begitu pun sebaliknya.
Di sisi manajemen, ESOP juga menguntungkan karena karyawan ikut memiliki perusahaan sehingga akan termotivasi untuk bekerja lebih baik. Sebab, jika perusahaan untung, karyawan otomatis akan merasakan keuntungan itu. Begitu sebaliknya.
Perwakilan karyawan, misalnya, bisa menjadi komisaris di perusahaan untuk mewakili 20 persen saham karyawan. Ketika manajemen melakukan kebijakan seenaknya, karyawan bisa menegur-melalui wakilnya yang menjadi komisaris. Dan, keuntungan perusahaan yang besar akhirnya juga kembali ke karyawan lantaran karyawan memang pemilik sekian persen saham perusahaan.
Jika itu bisa diwujudkan, ke depan pekerja tidak terus menuntut kenaikan upah pada saat Hari Buruh atau saat penetapan UMP dan UMK. Mereka justru akan turut serta memikirkan perusahaan dan bersama mencapai tujuan perusahaan. Sebab, kenaikan laba perusahaan juga akan dinikmatinya sebagai salah satu pemegang sahamnya. Kenaikan value perusahaan juga akan meningkatkan value karyawan. (*)
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga