Mereka mengubah bangunan itu menjadi Museum of Ngagel, dengan konsep interactive museum. Selain menampilkan cerita tentang sejarah Ngagel, Yoan dan tim juga membuat setiap zona yang ada di museum itu memiliki soundscape dan projection mapping, memanfaatkan teknologi digital.
“Para pengunjung tak hanya bisa menikmati secara visual (penglihatan), namun mereka juga bisa menikmati lewat suara (pendengar), tekstur (peraba), aroma (pencium), dan rasa," ungkap Yoan.
BACA JUGA:PCU gelar International Conference on Empathic Architectur (ICEA)
Artinya, para pengunjung bisa menikmati museum itu dengan lima indra sekaligus. Selain Yoan, ada pula Ivan Santosa, yang mengerjakan project tersebut bersama beberapa mahasiswa dari Thailand.
Ivan dan tim membuat Master Plan yang berfokus pada performing art, dengan konsep terkait green infrastructure.
“Surabaya punya banyak jenis kesenian, terutama yang terkait performing. Tapi sayang, tempat yang khusus untuk performing arts itu masih kurang,” kata Ivan.
Ia melanjutkan, lokasi di kawasan Ngagel yang harus ia desain sebenarnya memiliki banyak sekali green open space dan bangunan terbengkalai. Sehingga ia dan tim melihat potensi untuk dapat dikembangkan dengan konsep green infrastructure.
Kegiatan internasional itu merupakan upaya PCU mewujudkan visinya menjadi universitas yang go global, sekaligus mempersiapkan mahasiswa untuk masuk ke dunia karier di level internasional.
“Immersion Studio ini mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis dan mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah perkotaan yang selalu kompleks, dan menarik untuk dipelajari,” pungkas Rully. (*)