Gagal di Surabaya, Orde Baru kembali menyiapkan skenario dengan mengeplot Soeryadi sebagai ketua umum untuk mendongkel Megawati di kongres PDI di Medan 1996. Soeryadi terpilih dalam kongres Medan, tetapi akar rumput PDI tetap mengakui Megawati sebagai ketua umum.
Menjelang Pemilu 1997, Soeharto sudah mempersiapkan skenario supaya bisa kembali maju dan bisa terpilih melalui proses pemilu yang sudah didesain secara matang. Gerakan oposisi sekecil apa pun harus dihentikan. Gerakan oposisi dari PDI makin kuat dan berpusat di kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Dari kantor itu setiap hari diteriakkan suara perlawanan. Sampai akhirnya terjadilah pengambilalihan paksa dengan kekerasan yang menyebabkan kerusuhan berdarah. Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli.
BACA JUGA: Aktivis 98 Dukung Prabowo-Gibran dan Tepis Masalah Neo Orde Baru
Lima orang meninggal, 149 luka-luka, 136 ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Peristiwa Kudatuli memantik aksi massa yang menyebabkan terbakarnya 22 bangunan di sepanjang Jalan Salemba. Sebanyak 91 kendaraan musnah dengan total kerugian ratusan miliar rupiah.
Kudatuli menjadi tonggak perlawanan terhadap Soeharto. Krisis moneter yang melanda Asia Tenggara menjadikan ekonomi Indonesia lumpuh. Pemerintahan Soeharto mendasarkan legitimasinya terhadap pembangunan ekonomi dengan menahbiskan Soeharto sebagai ”Bapak Pembangunan”.
Krisis ekonomi meruntuhkan legitimasi Soeharto dan melumpuhkan kekuatannya. Mahasiswa dan rakyat bergerak melawan rezim Soeharto. Akhirnya Soeharto jatuh pada Mei 1998. B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto ditolak parlemen. Rezim demokratis lahir dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden.
BACA JUGA: Megawati Singgung KKN dan Orde Baru, Mahfud MD Kutip Surat Al-Maidah Ayat 48
Perjuangan politik panjang Megawati mengantarkan dia menjadi presiden ke-5 RI menggantikan Gus Dur yang dimakzulkan pada 2001. PDI yang bertransformasi menjadi PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu demokratis pascareformasi.
Megawati melanjutkan kepemimpinan Gus Dur sampai 2004. Ketika itu Mega maju sebagai calon presiden, tetapi dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Megawati membawa PDIP kembali menjadi oposisi. Selama dua periode kepresidenan SBY, Mega menjadi oposisi yang gigih.
Kemenangan diraih PDIP pada Pemilu 2014 dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden. Kemenangan brace Jokowi tentu tidak bisa lepas dari jasa mesin kemenangan PDIP. Setelah dua periode Jokowi selesai, Megawati berniat meminta kembali mandat yang diberikan kepada Jokowi sebagai petugas partai.
BACA JUGA: KUHP: Orde Baru dalam Kemasan Baru
Namun, Jokowi punya ide lain. Ia ingin mendesain masa depan politiknya tanpa PDIP. Jokowi pun mendesain skenario politik dengan menduetkan Prabowo dengan Gibran. PDIP merasa ditinggalkan dan dikhianati.
Mega berusaha sabar. Tapi, kesabaran ada batasnya. Mega tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Tindakan Jokowi dianggap sebagai duplikasi Orde Baru. Mungkin Jokowi dianggap Mega sebagai impersonator Soeharto. Kalau bukan sekelas Soeharto, paling tidak kelasnya seperti Soeharto kecil.
Mega marah, tapi lupa bahwa dia sendiri bersama PDIP adalah partai pemenang yang berperan besar di pemerintahan Jokowi. Megawati dan PDIP adalah bagian tidak terpisahkan dari rezim pemerintah selama 10 tahun terakhir. Kalau rezim Jokowi diumpamakan seperti monster kecil, Mega-lah yang menciptakan monster itu. (*)