KUHP: Orde Baru dalam Kemasan Baru

KUHP: Orde Baru dalam Kemasan Baru

beberapa pasal KUHP yang kontroversial .-Afdholul Arrozy-

SURABAYA, HARIAN DISWAY- KITAB Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah disahkan. Peresmiannya di Ruang Rapat Paripurna, DPR RI. Sama halnya dengan undang-undang omnibus law cipta kerja, aturan itu disahkan saat penolakan dari masyarakat masih sangat besar.

Sebagian besar masyarakat menilai, KUHP itu memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, juga mengatur ruang privat seluruh masyarakat. Termasuk juga diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat Indonesia. 

Misalnya saja aturan yang tidak memperbolehkan memberikan kritik kepada pejabat negara.  

Aturan itu masih mendapat protes oleh masyarakat. Karena dinilai membungkam kebebasan berpendapat. 

Salah satunya Jayadi. Pria berusia 55 tahun itu mengaku kecewa dengan KUHP tersebut. Menurutnya, pejabat publik seperti presiden, gubernur, wali kota, dan bupati merupakan jabatan yang dipilih langsung oleh masyarakat.

“Kenapa kita tidak boleh mengkritik mereka. Sementara, mereka ada di posisi itu karena suara masyarakat,” kata pria yang kesehariannya sebagai driver ojek online saat ditemui Harian Disway, di simpang empat Jalan Dharmawangsa, Selasa, 6 Desember 2022.

Pendapat yang serupa juga diberikan oleh salah satu organisasi pers. Yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Dalam kajian yang mereka lakukan bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, aturan itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Karena dapat mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja.

“Ada 12 poin alasan kami melakukan penolakan KUHP ini. Walaupun siang tadi undang-undang itu sudah disahkan. Itulah alasan kami mengecap bahwa DPR dan pemerintah adalah pengkhianat rakyat Indonesia,” kata Ketua AJI Surabaya Eben Haezer.

Salah satu poin penolakan itu adalah pasal yang tertera dalam KUHP. Di pasal itu sangat mengekang kebebasan pers. Seperti di pasal 280. Dalam pasal itu, melarang mempublikasi proses persidangan secara langsung.

Selain itu, larangan mengkritik pejabat pemerintah juga dinilai memenjarakan pekerja media. Ia menilai, pers merupakan perpanjangan tangan masyarakat. “Dengan adanya aturan itu, kita semua akan semakin dibungkam. Tidak bisa lagi memberikan kritik melalui pemberitaan,” tegasnya.

Pendapat yang serupa juga diberikan oleh salah satu mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Wanda Farda Wahdini. Dirinyi berpendapat, beberapa pasal dalam KUHP yang baru itu berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.

Sebab, tidak ada tolak ukur yang baku dalam beberapa pasal tersebut. Dia mencontohkan pasal 188. Dalam pasal itu mengatur tentang larangan menyebarkan paham komunisme serta ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Hanya saja, tidak ada penjelasan terkait paham yang bertentangan dengan pancasila itu. Mahasiswi hukum itu mengkhawatirkan pasal tersebut akan menjadi pasal karet. “Itu akan menghidupkan kembali konsep pidana subversif seperti yang terjadi di orde baru,” ucapnyi.

Bahkan, Habibus perwakilan dari LBH juga melihat, aturan itu merampas kedaulatan masyarakat adat. Hukum adat bisa disalahgunakan untuk kepentingan oknum tertentu. Parahnya, pemerintah tidak lagi memikirkan aturan adat daerah setempat.

Sumber:

Berita Terkait