Ia juga mengoleksi sketsa tokoh dan naskah wayang kulit, beberapa di antaranya berasal dari Dinasti Qing (1644-1911).
Dang menghabiskan satu atau dua jam setiap hari bersama ibu dan kakeknya untuk bertanya kepada mereka tentang wayang kulit dan membuat catatan, dan ia memperhatikan bahwa pakaian yang dikenakan oleh wayang kulit menyimpan informasi tentang catatan waktu pembuatannya.
“Informasi ini kami catat sebagai praktisi di lapangan. Ke depan, saya ingin berkolaborasi dengan lembaga penelitian agar mereka bisa mengumpulkan materi secara lebih profesional, dan membantu mereka mengarsipkan sejarah wayang kulit Tiongkok secara sistematis,” kata Dang.
BACA JUGA: Wayang Orang Lakon Wahyu Cakraningrat oleh Sanggar Patrialoka: Mencari Pemimpin Ideal
Aspirasinya adalah untuk lebih dari sekadar mempromosikan wayang kulit. Ia juga ingin menemukan cara yang lebih efektif untuk mempromosikan seluruh warisan budaya takbenda Tiongkok.
“Saya menyalurkan semua ide saya untuk merevitalisasi warisan budaya takbenda tradisional ke dalam wayang kulit. Menyusul kesuksesan wayang kulit, kita dapat berbagi model ini dengan para pendidik terkait lainnya, untuk merevitalisasi lebih banyak aspek dari warisan kita,” pungkasnya.
Ternyata selain di Jawa, Tiongkok juga punya wayang kulit yang eksis sejak lama. Apakah kedua budaya saling mempengaruhi? Perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, jika Tiongkok saja mau melestarikan dan mengembangkan tradisinya, maka kita di tanah air jangan mau kalah. (*)