Melalui kampanye ini, anak-anak muda dilibatkan untuk membangun kesadaran untuk tidak melakukan kekerasan, untuk membangun kepedulian, dan mengajak korban untuk berani 'speak up'. Kampanye diharapkan juga mampu membangun pengetahuan kepada publik bahwa kekerasan tidak boleh ditoleransi. Dalam aksi tersebut, warga bisa berpartisipasi dengan menuliskan tanggapan, opini, dan harapan atas pelaksanaan kampanye.
Sejalan dengan giat kampanye 16 HATKP dilakukan pula aksi penggalangan dana untuk para korban kekerasan. Hal ini menjadi urgensi mengingat banyak pula kasus kekerasan yang bersumber dari rumah tangga dan mengakibatkan korban kehilangan penghasilan.
Dari sisi pemerintah, Jawa Timur lewat Dinas Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Kependudukan (DP3AK), aktif melakukan sosialisasi dan membangun sistem layanan pengaduan dan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. DP3AK Jatim juga telah membangun sistem yang diberi nama ‘Lapor Pak’. Aplikasi ini merupakan layanan yang diperuntukkan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Lewat aplikasi tersebut, perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan memiliki saluran untuk melaporkan kasus yang dihadapinya dan mendapatkan advokasi yang tepat atas masalahnya. ‘Lapor Pak’ adalah layanan perlindungan perempuan dan anak berupa akses telepon bebas pulsa lokal (telepon rumah/kantor) untuk perempuan dan anak yang membutuhkan perlindungan atau berada dalam situasi emergensi/kegawatdaruratan maupun korban yang membutuhkan layanan konseling.
BACA JUGA:Rayakan Dies Natalis ke-59 dan Hari Pahlawan, Stikosa AWS Kenang Tiga Tokoh Pers Nasional
BACA JUGA:Stikosa AWS Photo Week 2023: Isu Lingkungan Tersaji dalam Bingkai Visual
Untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, DP3AK Jawa Timur juga membentuk pelayanan terpadu perlindungan korban kekerasan berbasis gender dan anak berupa jaringan yang terdiri dari beberapa institusi pemerintah, penegak hukum, lembaga, dan perguruan tinggi.
Masih Harus Berjuang
Kampanye 16 HATKP akan berakhir pada 10 Desember. Namun perjuangannya sendiri tidak pernah benar-benar usai. Data yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan merambah ke dunia digital dengan adanya kekerasan berbasis gender online (KBGO). Hingga Januari 2023, jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan terdata sejumlah 22.528 jiwa di mana Jawa Timur menjadi wilayah kedua yang tingkat kekerasannya paling tinggi sesudah Jawa Barat.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terbaru yang terjadi Rabu, 6 Desember 2023di Jakarta bukan hanya membawa korban perempuan yang diduga dianiaya suaminya. Namun juga korban jiwa berupa nyawa empat anak yang melayang di tangan orang tuanya.
Fakta ini secara miris menunjukkan kepada kita. Bahkan rumah yang mestinya adalah tempat di mana anggota keluarga sebagai penghuninya merasa aman dan nyaman, justru menjadi ruang paling tak aman bagi perempuan dan anak.
Sungguh catatan akhir tahun yang patut menjadi perhatian negara, penegak hukum, institusi pendidikan, dan tentu saja kita semua.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan agenda panjang yang harus dijalankan oleh banyak pihak tanpa kenal lelah. Terus meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, semakin rumit dan kompleksnya pola kasus kekerasan seiring dengan perkembangan teknologi, adalah sebuah pekerjaan rumah bersama. Sebab upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang aksi atau tindakan kekerasan yang dilakukan, namun juga perspektif, ideologi, dan mindset pelaku yang mesti diluruskan. Dan korban membutuhkan kita.
Suprihatin, Kepala Pusat Kajian Komunikasi Prapanca, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya.--
(*)