Persoalannya kemudian adalah nyaris tidak bisa dibedakan antara visi, misi, dan janji manis politik. Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa visi dan misi berangkat dari evaluasi diri (dalam hal ini evaluasi program kerja dan kinerja pemimpin sebelumnya dalam membangunan Indonesia) dan potensi apa yang sangat perlu dikembangkan ke depan demi kesejahteraan rakyat.
BACA JUGA:Debat Capres Ketiga: Anies Baswedan Bahas Hacker Hingga Food Estate di Opening Statement
Oleh karena itu, visi dan misi memiliki indikator dan ukuran pencapaian yang jelas. Dengan kata lain, perumusan sebuah visi dan sejumlah misi didahului oleh sebuah studi yang mendalam dan komprehensif.
Sebaliknya janji politik tidak lebih dari lip service yang tidak jelas indikator dan ukuran pencapaiannya dengan tujuan untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya.
Pertanyaannya adalah apakah penebaran janji politik efektif untuk mendulang suara? Pengalaman berbagai pemilu sebelumnya menunjukkan tidak terlalu efektifnya cara ini untuk mendulang suara.
BACA JUGA: Kampanye Desak Anies Kembali Dipindahkan Tanpa Alasan, Ketua TKD: Ditolak Pemda
Satu hal yang tidak disadari oleh para kandidat beserta tim suksesnya adalah dia berhadapan dengan masyarakat yang tidak lagi mudah tergoda dengan janji-janji manis para politikus.
Dengan demikian, harapan untuk mendulang suara melalui serangkaian janji-janji politik yang tidak masuk akal dapat dipastikan tidak akan mempengaruhi pilihan rakyat, sebaliknya bisa jadi menjadi bumerang.
Pengerahan Massa
Selain menebar janji politik, pengerahan massa dalam kampanye masih menjadi trend. Sama dengan metode janji politik, cara ini juga bukan jaminan untuk mendulang suara yang banyak.
Belajar dari pemilihan umum 1955 misalnya, kehadiran orang pada rapat massa bukanlah ukuran bagi kekuatan calon atau partai politik tertentu di sebuah daerah. Orang datang lebih banyak karena dorongan rasa ingin tahu, untuk ikut menikmati suasana keramaian, atau sekadar karena ada kawan-kawan sekampung di situ.
BACA JUGA: Desak Anies vs Gemoy, Desak Unggul di X, Gemoy Leading di TikTok dan Facebook
Gejala inilah yang dialami oleh Partai Sosialis pada pemilihan parlemen maupun konstituante pada tahun 1955 (Feith, 1999). Untuk saat ini bahkan banyak orang yang datang ke alun-alun atau tempat-tempat kampanye lainnya hanya karena ingin mendapatkan kaos, uang saku, dan ikut dangdutan.
Pelajaran yang sangat berharga sebenarnya dapat diperoleh dari satu dari sekian metode kampanye yang dilakukan oleh salah satu partai pada Pemilu 1955 baik di tingkat nasional maupun lokal dengan berhasil jauh melampaui partai-partai lain. Metode tersebut adalah kegiatan kesejahteraan sosial.
Bagi partai ini, kegiatan semacam itu tidak hanya dimaksudkan untuk menang dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk membangun basis massa yang lebih permanen. Sifat jangka panjang kegiatan kesejahteraan sosial inilah yang membedakannya dengan partai-partai lain.
Dengan slogan “kegiatan kecil tapi bermanfaat”, aktivis partai tersebut di desa-desa, secara terang-terangan maupun tersamar, tidak hanya memimpin dalam tuntutan-tuntutan politik lokal seperti menurunkan sewa tanah dan sukubunga utang, serta memperbaiki pembagian air desa, tetapi juga dalam kegiatan non-politik.