Sesal Pembunuh Sadis

Jumat 12-01-2024,21:14 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Diulas, membunuh itu tidak gampang. Tidak sembarang orang bisa. Meskipun, ia niat dan berencana membunuh. Orang sudah niat, lalu merencanakan pembunuhan, belum tentu bisa melaksanakan niat itu. 

BACA JUGA: Kasus Pembunuhan di Pasuruan: Ngono yo Ngono, ning Ojo Ngono

Untuk mewujudkan niat, pembunuh harus mengatasi banyak jaringan saraf yang menolak secara kuat. Jika orang itu bisa mengatasi penolakan jaringan saraf tersebut, jadilah ia pembunuh.

Otak semua manusia diberi kode khusus (oleh Allah SWT) belas kasih kepada sesama. Bahkan, kepada hewan. Itu kodrati. Dari bawaan lahir. Sebab itu, banyak pemuka agama berceramah, pada dasarnya kalbu semua manusia itu baik adanya.

Setelah seseorang membunuh orang lain, jeda beberapa jam kemudian, merasa bersalah. Disebut: Merasa sakit empati. Maksudnya, setelah membunuh, pembunuh barulah berempati (merasakan hal yang kira-kira dirasakan korban). Dari situ pembunuh merasa bersalah. Merasa sakit. Dan, rasa sakit itu kurang lebih setara dengan sakit yang dirasakan korban.

BACA JUGA: Rumitnya Pembunuhan di Subang

Itu terjadi pada orang normal dan pembunuhan ilegal. Tidak berlaku buat orang gila (psikopat). Juga, tidak berlaku pula untuk pembunuhan legal. Misalnya, dalam perang. Atau, polisi menembak mati penjahat.

Riset Molenberghs detail dan teknis. Tentang jaringan saraf otak pembunuh. Sesuatu yang kelihatannya mustahil dilakukan.

Metode riset begini: Ada 48 sukarelawan riset. Mayoritas pria. Riset dilakukan di Monash University. Para sukarelawan (responden) menjalani pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik fungsional (functional magnetic resonance imaging/ FMRI). 

BACA JUGA: Pembunuh Gila Incar Korban di Mal

Ada alat yang membekap kepala mereka. Alat itu terhubung ke layar monitor sebagai pemantau kondisi jaringan saraf otak responden.

Setiap responden menonton video loop. Dari virtual reality (VR) tiga dimensi. Video loop adalah klip video berdurasi singkat (sekitar 30 detik) yang diputar berulang-ulang. Memungkinkan pemirsa menikmati pengalaman visual yang sama, berkali-kali. 

Responden diberi tahu bahwa mereka harus berpihak pada tokoh yang ada di video. Dan, jika ditanya periset, mereka tidak perlu melepas VR dari kepala. Cukup menjawab melalui tombol pada keypad yang tersedia.

BACA JUGA: Jadilah Detektif di Pembunuhan Desy

Ada tiga video yang isinya berbeda. Pertama, tentara berperang, membunuh musuh. Kedua, tentara berperang, tahu-tahu menembak warga sipil. Ketiga, tentara itu menembak, tapi tembakannya tidak mengenai siapa pun. Menembak ngawur dan tidak ada orang di target tembak. 

Kata Molenberghs, video ketiga berfungsi sebagai kontrol dalam riset. 

Kategori :