Para ekonom dan politikus berkomentar. Para akademikus dan agamawan sibuk mencari dalil penolakan atau penerimaan.
Para perencana dan penanam modal lebih asyik lagi untuk menguatkan pendapatnya lantaran pendapatan mereka memang ditentukan keberhasilan mengegolkan program.
Demikianlah obrolan ringan yang dapat didengarkan sebagian besar penikmat ”kopi giras” warung-warung pinggir jalan.
Praktis proyek trans-Jawa dan gudang-gudang pabrik yang dibangun sepanjang jalan itu tol itu sangat penting untuk tumbuhnya optimisme ekonomi. Namun, benarkah itu adanya?
Soal ekonomi memang sangat menggiurkan. Tapi, cukupkah dengan kemajuan dan gairah ekonomi semata? Pasti problem ikutannya adalah juga menyentuh aspek sosial-budaya.
Cawapres sebenarnya dapat menghitung dalam kalkulasi lanjutan mengenai dimensi ekologi. Apakah pembangunan itu tidak mengakibatkan guncangan-guncangan ekologi?
Apakah pembangunan tersebut tidak merusak tatanan konservasi bersamaan dengan pembagian lahan Perhutani? Apakah lahan-lahan yang dibebaskan memang kawasan yang tidak produktif?
Lingkungan Kian Disuarakan
Kenapa aspek lingkungan perlu diketengahkan saat debat cawapres? Sebab, kita semua menyadari bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan justru dipandang pembangunan itu mampu menjalin secara harmonis dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Apabila dimensi ekonomi memang menguntungkan dan secara sosial memang tidak menimbulkan goncangan, apakah secara ekologis dinilai dapat diterima?
Kepentingan lingkungan sejatinya bukan wicara tunggal untuk menjadi penentu pelaksanaan suatu pembangunan. Tapi, dalam konstruksi modern dalam dunia yang berubah pesat, kalkulasi lingkungan harus dikedepankan.
Lingkungan dituangkan menjadi arus utama kebijakan yang dipedomani oleh semua stakeholders. Negara dengan segala alat kelengkapannya harus memperhatikan lingkungan secara matang.
Tiada aspek pembangunan dikatakan berkelanjutan apabila mengabaikan lingkungan. Siapa pun tidak boleh abai terhadap lingkungan. Anomali sosial, politik, budaya, ekonomi, dan antropologi serta planologi akan terjadi apabila aspek lingkungan dibiarkan di pojok bangunan atau di ujung jembatan.
Kita masih punya waktu untuk berpikir dan bertindak lebih arif lagi agar kisah pendebar hati tentang sungai di novel Into the Water tetap menarik sambil nyruput teh ginastel (legi panas kentel). (*)