Putusan Makamah Konstitusi (MK) Adalah Sinyal, Bukan Jalan Buntu
ILUSTRASI Putusan Makamah Konstitusi (MK) Adalah Sinyal, Bukan Jalan Buntu.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XXIII/2025 yang menolak permohonan agar calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diwajibkan berijazah minimal S-1 telah memicu beragam reaksi publik.
Sebagian pihak melihat putusan itu sebagai isyarat keengganan MK untuk memperkuat standar kualitas kepemimpinan nasional.
Namun, pandangan tersebut perlu disikapi kritis: putusan itu justru harus dibaca sebagai sinyal politik penting, bukan kemandekan proses (jalan buntu).
BACA JUGA:Mungkinkah Mahkamah Konstitusi Akan Memenangkan Dinasti?
BACA JUGA:Mahkamah Konstitusi Benteng Oligarki
Secara konstitusional, MK menegaskan bahwa penentuan syarat pendidikan bagi pejabat publik bukanlah ranah dari lembaga yudisial, melainkan sepenuhnya merupakan domain pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.
Logika berpikir tersebut sejalan dan konsisten dengan putusan MK sebelumnya, seperti putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang juga menolak adanya intervensi konstitusional dalam menentukan batas ijazah calon pemimpin.
Melalui langkah itu, MK secara tegas menjaga garis demarkasi atau batasan yang jelas antara tugasnya menafsirkan konstitusi dan tugas penetapan kebijakan publik (open legal policy).
BACA JUGA:Keadilan Itu Tak Dihitung dengan Kalkulator, PPIU Berencana Ajukan JR ke MK
BACA JUGA:Bisakah MPR menafsirkan putusan MK?
Meski demikian, substansi fundamental yang mengemuka tetaplah sama: bagaimana memastikan dan meningkatkan kualitas kepemimpinan di Indonesia? Pertanyaan kritis itu tidak akan pernah dapat dijawab secara memadai hanya dengan mengandalkan tafsir konstitusi yang bersifat normatif dan kaku.
Inilah momentum krusial bagi DPR dan pemerintah mengambil peran strategis untuk menginstitusionalisasi standar kepemimpinan melalui proses politik dan legislasi yang matang.
Standar pendidikan minimal harus dipandang lebih dari sekadar formalitas ijazah semata, melainkan sebagai refleksi fundamental dari kesiapan intelektual, kemampuan bernalar, serta kapasitas untuk berpikir secara strategis dan komprehensif.
Oleh karena itu, upaya pembahasan untuk peningkatan syarat pendidikan tidak boleh berhenti pada jabatan capres dan cawapres saja, tetapi harus diperluas dan menyentuh syarat bagi calon anggota DPR dan DPD.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: