Putusan Makamah Konstitusi (MK) Adalah Sinyal, Bukan Jalan Buntu

Putusan Makamah Konstitusi (MK) Adalah Sinyal, Bukan Jalan Buntu

ILUSTRASI Putusan Makamah Konstitusi (MK) Adalah Sinyal, Bukan Jalan Buntu.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Hingga saat ini, Pasal 240 ayat (1) huruf e dan Pasal 182 huruf e pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih menetapkan standar pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.

Tentu, tidak ada maksud untuk meremehkan kemampuan, pengalaman, dan talenta individu yang memiliki latar belakang pendidikan menengah. 

Namun, tuntutan terhadap kompleksitas kebijakan publik di era modern, kerumitan relasi global yang terus berubah, dan tanggung jawab besar dalam legislasi nasional menuntut adanya kapasitas intelektual yang jauh lebih tinggi dan teruji. 

Legislator yang dibekali pendidikan dan literasi kebijakan yang kuat dan memadai akan jauh lebih siap dalam menghadapi tantangan governance yang kini makin multidimensi, mulai isu ekonomi digital, krisis iklim, hingga geopolitik global. 

Mereka akan mampu merumuskan undang-undang yang kuat, visioner, dan minim celah.

KONTRADIKSI STANDAR ASN DAN PEMIMPIN POLITIK

Kontradiksi standar kualitas kepemimpinan itu menjadi makin mencolok dan tidak masuk akal jika kita menilik standar yang telah ditetapkan pada aparatur sipil negara (ASN), yang notabene adalah pelaksana teknis kebijakan di lapangan. 

Untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS), mayoritas formasi jabatan struktural dan fungsional kini menuntut pendidikan minimal strata 1 (S-1) dan, yang lebih ketat, sering kali mensyaratkan linieritas jurusan dengan tugas dan fungsi jabatan yang akan diemban. 

Tuntutan itu bertujuan memastikan profesionalisme dan kompetensi teknis dalam menjalankan roda birokrasi.

Bagaimana mungkin seorang ASN di level teknis yang bertugas menjalankan kebijakan negara dituntut memiliki kualifikasi akademik S-1 yang teruji, sedangkan para pembuat kebijakan, legislator, dan pemimpin eksekutif yang menentukan arah strategis dan visi bangsa hanya dipatok pada standar pendidikan yang jauh lebih rendah (SMA/sederajat)?

Kontras standar itu menciptakan anomali serius dalam tata kelola negara. Ketika birokrat (pelaksana) memiliki standar akademik dan linieritas yang lebih tinggi daripada politisi (pengambil keputusan), efektivitas perumusan dan implementasi kebijakan nasional akan terancam oleh jurang literasi dan kapasitas intelektual antara pembuat dan pelaksana. 

Situasi itu menegaskan bahwa standar minimal SMA untuk DPR/DPD –bahkan tidak adanya standar S-1 yang diwajibkan oleh UU untuk jabatan presiden/wakil presiden– sudah tidak relevan, meremehkan kompleksitas tantangan bangsa, dan menciptakan paradoks kepemimpinan yang tidak selaras dengan tuntutan reformasi birokrasi dan visi Indonesia Emas 2045. 

Jika sebagian besar jabatan dalam birokrasi dituntut profesional minimal bergelar S-1, pembuat kebijakan seharusnya memiliki standar yang setidaknya setara atau bahkan lebih tinggi.

MOMENTUM KEBERANIAN POLITIK

Oleh karena itu, putusan MK tersebut harus dimaknai sebagai sinyal yang jelas dan mendesak bagi parlemen untuk menunjukkan komitmen nyata dalam memperkuat kualitas kepemimpinan nasional secara menyeluruh. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: