Keadilan Itu Tak Dihitung dengan Kalkulator, PPIU Berencana Ajukan JR ke MK

Keadilan Itu Tak Dihitung dengan Kalkulator, PPIU Berencana Ajukan JR ke MK

ILUSTRASI Keadilan Itu Tak Dihitung dengan Kalkulator, PPIU Berencana Ajukan JR ke MK.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”APAKAH mungkin permohonan judicial review diterima kalau yang dirugikan cuma segelintir orang, sementara yang diuntungkan jauh lebih banyak?” Pertanyaan itu beredar di grup WhatsApp teman-teman penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) pekan ini. 

Khususnya menanggapi keinginan judicial review (JR) yang kami rencanakan untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi, terkait UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Nada skeptisnya jelas terasa.

Dan, itu wajar. Di negeri yang terbiasa berpikir dalam angka. Ukuran ”banyak” dan ”sedikit” sering kali dijadikan ukuran kebenaran. Seolah-olah hukum adalah urusan statistik, bukan nurani konstitusi. Padahal, hukum konstitusi tidak mengenal matematika mayoritas.

BACA JUGA:Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024

BACA JUGA:Hukum Nir-nurani, Keadilan Ilusi

Karena hal itulah, saya merasa terpanggil membuat artikel ini sebagai edukasi sekaligus inspirasi untuk semua yang membutuhkan.

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menilai seberapa banyak yang dirugikan, tetapi adakah hak konstitusional yang dilanggar secara nyata dan langsung. 

Itu sudah tegas diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebut bahwa pihak yang boleh dan sah mengajukan JR adalah ”pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.”

BACA JUGA:Jual Beli Keadilan di Restorative Justice

Artinya, meski hanya satu orang atau satu lembaga kecil seperti sebuah PPIU, permohonannya sah jika bisa menunjukkan bahwa hak konstitusionalnya benar-benar terlanggar. 

Bagi MK, keadilan bukan soal jumlah, melainkan substansi kerugian konstitusional (constitutional impairment). Preseden hukum menunjukkan hal itu berulang kali.

Dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) menggugat UU Ketenagalistrikan. Jumlah mereka kecil jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. 

Namun, MK mengabulkan sebagian permohonannya karena undang-undang itu terbukti melanggar hak konstitusional mereka.

Dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, hanya segelintir masyarakat adat yang menggugat. Namun, MK menyatakan hutan adat bukan lagi milik negara, melainkan milik komunitas adat yang bersangkutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: