Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Demikian serpihan lirik tembang Iwan Fals yang berjudul Sumbang.
Syair tersebut tampak tak berlebihan bila kita menengok jauh ke belakang, ketika meruncingnya friksi politik di Pemilu 1955 melahirkan gangguan keamanan.
Situasi waktu itu diperparah dengan gejolak di berbagai daerah yang tak kunjung usai. Bahkan sebagian kelompok memberontak, ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Mengapa politik di Republik ini identik dengan kegaduhan? Mengapa ia selalu melibatkan nyinyiran dan kebencian?
Sebagai bangsa yang religius, sekaligus yang mengaku bernapas Pancasila sebagai filosofi kehidupan berbangsa, sudah selayaknya politik domestik tidak mengambil wajah seram dan jauh dari hospitalitas.
Sejujurnya, jika kita mau, tahun ini bisa saja jadi momen yang baik untuk merengkuh kembali hospitalitas yang menjadi kultur suku-suku bangsa di Nusantara.
Hospitalitas itu Sakral
Frasa “hospitalitas” biasa dialihbahasakan sebagai “keramahan.” Oleh KBBI kata “ramah” didefinisikan sebagai “baik hati, menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan.”
Istilah “hospitalitas” sendiri berasal dari dua kata Latin: “hostis” (tuan rumah) dan “hospis” (hubungan timbal-balik) yang didasarkan pada kesetaraan dan saling memberi.
Jadi, secara sederhana hospitalitas bisa dimaknai sebagai sikap penerimaan tuan rumah yang baik dan ramah bagi tamu, pengunjung, atau orang asing.
Kata kuncinya di sini adalah kebaikan dan keramahan. Hospitalitas adalah hal yang menyenangkan bagi kedua belah pihak, baik tuan rumah maupun tamu.
Di dalam tradisi religius, misalnya Buddhisme, hospitalitas sangat erat kaitannya dengan hal yang sakral. Cara seseorang memperlakukan sesama menunjukkan banyak hal tentang hubungan orang itu dengan yang ilahi.
Lawrence Babb dalam bukunya The Divine Hierarchy: Popular Hinduism in Central India (1975) berpendapat, seluruh rangkaian ini memiliki satu tujuan keseluruhan: untuk membuat dewa atau dewi merasa seperti seorang tamu yang disambut dengan baik (the entire sequence has one overall purpose: to make the [god or] goddess feel like a welcome guest).
Maka, dengan kata lain: hubungan seseorang dengan yang Ilahi dapat dilihat dari sikap hospitalitasnya terhadap sesama.
Sejalan dengan Buddhisme, etika Konfusius pun menaruh perhatian utama pada hospitalitas terhadap sesama. Menurut Martine Berenpas dalam esainya An Asian Ethics of Hospitality: Hospitality in Confucian, Daoist and Buddhist philosophy.
Konfusius mendorong setiap orang bersikap ramah kepada orang lain ketika hal ini tidak bertentangan dengan kewajiban moralnya terhadap keluarga atau atasan langsung.