Mulai memelihara kerbau untuk membantu membajak sawah pertanian hingga sapi yang tenaganya digunakan menggerakkan alat penggilingan tebu. Serupa itu dengan beberapa sumber yang ada di dalam beberapa laporan tahunan yang dikeluarkan pihak pemerintah kolonial.
Sebut saja Jaaverslag Burgerlijken Veerartsenijkendigen Dients, Verzameling van Voorschirften, ataupun dalam laporan tahunan, Burgerlijken Veertsenijkundigen Dients.
Padahal, sejatinya tidak sedikit sumber lain yang juga sempat menyebut serta memberitakan adanya keberadaan beberapa binatang lainnya seperti yang diberitakan dalam salah satu surat kabar Bintang Timoer terbitan Surabaya.
Media itu mengabarkan dalam kolom pemberitaannya (Hollandia) mengenai banyaknya anjing dan tikus yang berkeliaran di dalam Kota Surabaya di seputar tahun 1850-an.
Tentu keberadaan binatang-binatang tersebut menjadi pemandangan yang menarik pada saat itu, bahkan dari laporan yang diberitakan dalam arsip Kota Surabaya jika sampai dengan tahun 1950-an keberadaan anjing di dalam Kota Surabaya juga masih banyak.
Meski tidak ada data yang pasti mengenai berapa jumlah mereka yang hidup di kota, dari beberapa kabar sempat menyebut bahwa ada upaya dari pemerintah waktu itu, terutama di tahun 1950-an, untuk melakukan pembatasan terhadap binatang anjing yang berkeliaran di dalam Kota Surabaya.
Apalagi, pada waktu yang bersamaan ditemukan merebaknya penyakit rabies di Kota Surabaya. Bahkan, itulah yang mengakibatkan banyak penduduk Kota Surabaya yang mati.
Entah ini sebuah kebetulan atau sebenarnya sebagai sebuah kebijakan dari kota, semenjak merebaknya isu penyakit anjing gila atau rabies di kota-kota, ada semacam tindakan untuk merelokasi (mengurung) anjing-anjing yang berkeliaran di dalam kota pada sebuah tempat yang sudah ditentukan pihak pemerintah.
Tidak sedikit dari sumber yang bahkan menyebut bahwa sebagian besar dari anjing-anjing itu tidak hanya ditangkap dan dikurung, tetapi mereka juga dibunuh.
Terlepas dari isu ”penghilangan” binatang-binatang tersebut, termasuk binatang yang tidak wajar tinggal dan berkeliaran di dalam kota, ada hal yang penting untuk dipikirkan jika kebijakan serta tindakan di atas tentu tidak hanya didasarkan pada isu agar kota menjadi sebuah kawasan yang nyaman dan bersih.
Jangan-jangan jika kebijakan di atas sejatinya juga masih berkaitan dengan isu agama.
Boleh jadi dugaan ini benar adanya jika kemudian menyandingkan dengan beberapa bukti-bukti kasus dari beberapa kota, baik kota-kota di Indonesia maupun beberapa kota di kawasan Asia/Asia Tenggara yang tidak membolehkan jenis binatang tertentu berkeliaran di dalam kota.
Tentu hal tersebut menjadi tugas dan PR kita semua, terutama para pemerhati perkotaan. (*)
Moordiati, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga.-Dok Pribadi-