Namun, kalah saat membantu Gus Ipul berlaga menjadi orang nomor satu di Jatim saat melawan Khofifah Indar Parawansa yang pernah dikalahkan dua kali bersama Pakde Karwo.
Jadi, berkali-kali merasakan psikologisnya pihak yang sedang menang. Juga, ikut merasakan kejiwaan menjadi pihak yang kalah. Kalau menang, jelas tidak ada masalah. Orang menang itu bicara apa pun enak. Juga, dianggap benar. Lain halnya kalau menjadi pihak yang kalah.
BACA JUGA: Mengenal Silent Majority, Istilah yang Viral Setelah Pemilu
Apalagi di zaman media sosial seperti sekarang. Relawan yang menang masih saja terus memperkusi dan merundung mereka yang kalah. Tanpa merasa bersalah. Karena itu, kalau tidak tahan mental, bisa sakit hati terus-menerus. Tidak gampang untuk move on. Apalagi jika pertarungannya tak adil.
Karena itu, saya selalu berusaha untuk segera menyapa kawan yang kalah. Justru sangat jarang menyapa kawan yang menang. Apalagi, biasanya seseorang yang menang pasti akan banyak yang mengerubuti. Untuk mendapat ”berkah” pemenang.
Sebaliknya, banyak orang meninggalkan pihak yang kalah. Hanya kawan sejati yang masih bersama dari mereka yang kalah. Dan, itu jumlahnya tidak banyak. Karena itu, kalaupun banyak yang depresi, biasanya karena ditinggalkan orang-orang yang dulu memujanya. Jangankan bersimpati, menyapa pun terkadang tidak.
BACA JUGA: Apa Itu Sirekap KPU Pemilu 2024? Ini Penjelasan dan Cara Kerjanya
Karena itu, menyapa dan menemani pihak yang kalah sebetulnya lebih bermakna. Memberikan semangat. Mendukung untuk segera move on. Juga, menghiburnya agar tidak terlalu merasa sakit hati akibat kekalahannya. Segera bersikap: so must go on.
Sebetulnya, dalam setiap pertandingan, kalah dan menang adalah hal biasa. Karena itu, ketika ingin berlaga dalam politik, mental kalah dan menang harus sudah menjadi pedoman. Perlu sikap dasar siap kalah dan siap menang. Politisi matang biasanya punya sikap demikian.
Oleh karena itu, ada pepatah politisi tulen bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali. Artinya, di periode ini mereka kalah, periode berikutnya berlaga lagi dan lagi. Pak Prabowo Subianto termasuk politikus tersebut. Ia kalah berkali-kali, tapi setiap pilpres hidup lagi. Bertarung lagi.
Jika tidak bisa menjadi politisi tulen, perlu punya kompetensi berlebih untuk tidak depresi saat gagal pemilu. Dengan kompetensi itu, mereka bisa beralih profesi dengan cepat. Misalnya, menjadi pengusaha atau profesional. Tentu pengusaha dan profesi adalah pekerjaan yang sepi dari puja puji.
Pekerjaan politik adalah pekerjaan publik. Karena itu, menjadi ladang yang sarat dengan caci maki dan puja puji. Kinerja bagus akan mendapat pujian publik. Kinerja jelek bisa menghasilkan caci maki. Politisi perlu siap dengan dua sisi yang bolak-balik itu.
Jadi, tak hanya perlu mental kuat untuk menjadi politisi yang siap kalah dan menang. Diperlukan keahlian untuk mem-branding diri agar kinerja yang tak bagus pun bisa menghasilkan puja puji publik. Perlu keahlian memoles diri agar tetap disenangi publik.
Namun, tak usah takut, kini banyak konsultan politik yang ahli untuk demikian. Asal, punya modal kapital cukup untuk membayarnya. Hanya, tetap harus siap kehilangan jika polesan tak sesuai dengan kesenangan publik. Hasilnya bisa kalah plus kehilangan harta.
Seharusnya, tak perlu depresi jika berniat di dunia politik. Dunia pertikaian untuk memimpin. Baik dengan cara jujur maupun dengan cara curang. Yang pasti, seperti bermain sepak bola, berpolitik perlu sikap mental menang dan kalah. (*)