Faktanya, ibu dari seorang anak perempuan yang bunuh diri setelah ditindas pernah mengatakan kepada saya bahwa gadis yang menindas putrinyi hanyalah ”anak-anak biasa.”
Kondisi di kota kecil dan sekolah kecil mereka menjadi tempat berkembang biaknya penindasan.
Penelitian saya juga mengamati dinamika antara intimidasi dan viktimisasi. Dalam sebuah penelitian, kami menemukan bahwa anak-anak yang ditindas di rumah oleh saudara kandung atau kerabatnya lebih besar kemungkinannya untuk melakukan penindasan di sekolah.
Jadi, Anda dapat melihat bahwa dinamika ini sangat kompleks dan mencakup semua bidang di mana kita semua berfungsi –di komunitas, keluarga, dan sekolah.
Kita tahu bahwa jika tidak ditangani, anak-anak yang belajar bahwa penindasan adalah cara efektif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan sangat mungkin akan terus melakukan perilaku penindasan hingga dewasa.
Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan intervensi dan menghentikan penindasan selama tahun-tahun usia sekolah.
Dari wawancara itu, intinya, sekolah harus tegas melakukan intervensi terhadap tanda-tanda atau kemungkinan terjadinya bullying. Jika guru jeli mengamati murid, tanda-tanda itu tampak pada calon pelaku atau calon korban. Di situ calon tindakan bullying bisa dicegah.
Parahnya, Swearer menyimpulkan, pelajar pelaku bullying kelak setelah dewasa bakal tetap suka menindas orang.
Di SMA Binus BSD, tanda-tanda itu semestinya sudah kelihatan. Dilakukan oleh Geng Tai yang sudah ada di sana sejak 2015. Sudah sembilan generasi. Mereka biasa berkumpul di warung dekat sekolah yang mereka juluki Warung Ibu Gaul. Masak, guru atau administrator sekolah tidak tahu?
Apalagi, ibunda korban, melalui medsos Mama Alena, menyebutkan bahwa korban (anak Mama Alena) dianiaya dalam rangka diuji (disebut: ditatar, akan jadi anggota Geng Tai). Dia menyebut korban tidak melawan karena para pelaku (delapan orang) mengancam akan membunuh adik korban yang sekolah di SD Binus, kelas VI.
Kasus ini, karena ada rekaman video, beredar di medsos. Dibagikan banyak orang. Baik ke medsos maupn grup-grup WhatsApp. Viral. Berhari-hari. Dikomentari ratusan warganet.
Sampai, pemilik akun @Fragileflynn di medsos X mengunggah nama korban: Arlo Febrian. Siswa kelas sembilan SMA Binus BSD. Belum ada konfirmasi soal ini. Pihak sekolah, juga Polres Tangerang Selatan yang mengusut perkara, belum mengumumkan nama korban.
Pemilik akun @Fragileflynn menyebutkan, korban Arlo tergolong anak nakal. Suka meniduri cewek-cewek yang jadi pacarnya. Lalu, cewek yang sudah ditiduri dipamerkan di medsos. Pemilik akun itu juga mengunggah bahwa Arlo langsung dugem setelah kejadian bullying itu.
Tentu, banyak warganet percaya info tersebut, tapi banyak juga yang tidak. Ada yang komentar, info tersebut akurat. Ada juga yang menyebut bahwa pemilik akun adalah teman para pelaku.
Di era medsos ini, polisi kalah cepat bergerak jika dibandingkan dengan warganet. Akibatnya, unggahan warganet terhadap suatu kasus menjadi liar. Aneka info tersaji ke publik tanpa filter lagi. Bisa dianggap sebagai kebenaran. Menimbulkan aneka spekulasi. (*)