Bangunan tua gedung Pengadilan Negeri Surabaya tidak ramah bagi Aryani Widagdo. Gedung yang dibangun pada 1924 dengan nama Lanraad, dipakai sebagai tempat pengadilan sejak jaman pemerintah Kolonial Belanda itu tak ramah untuk Aryani yang disabilitas dan pengguna kursi roda.
Alhasil, nenek berusia 74 tahun itu sesekali harus turun dari kursi rodanya. Lalu ada yang memasukkan kursi roda ke ruangan sidang kemudian Aryani duduk kembali.
Susah? Iya.
Repot? Tentu saja.
"Saya masih bisa berjalan (meski susah). Saya berdiri dulu, kursi dilipat lalu didorong masuk, baru di dalam dibuka lagi," ujarnya.
"Artinya kalau saya lumpuh ya gak bisa masuk, wong pintu gak cukup. Ada dua belah pintu tapi yang dibuka cuma satu," lanjutnya.
Aryani Widagdo usai sidang di Pengadilan Sidang Negeri Surabaya, Jawa Timur, Rabu 21 Februari 2024.-Moch Sahirol Layeli-
Lalu, apa yang membawa seorang nenek datang ke gedung tua itu, pada Rabu pagi hingga siang, 21 Februari 2024? Tak lain ialah menuntut haknya.
Api semangat terlihat di matanya yang berbingkai kacamata emas. Secara fisik mungkin ia terbatas geraknya tapi menuntut hak adalah persoalan lain yang tak mengenal batas gerak tubuhnya.
Ariyani berangkat pukul 08.00 WIB dari rumahnya di area Surabaya Barat. Dalam undangan mediasi disebut pukul 09.00 WIB. Namun, tak seperti dugaannya, proses mediasi dimulai pukul 13.30 WIB dan hanya berlangsung singkat. Tidak bisa berdamai.
Ia tak akan lupa kejadian hari itu, Rabu, 21 Februari 2024. Pengalaman datang ke Gedung Pengadilan Negeri Surabaya dengan penuh perjuangan. Bahkan waktu makan siangnya sudah terlewat jauh. Hal yang tak mudah untuk seorang nenek dengan stamina yang jauh dari muda.
"Saya belum pernah ikut ke Pengadilan. Saya capek sekali nih dan lapar," ujar Ariyani yang juga merupakan seorang desainer di Surabaya.
Ariyani tak sendirian. Ia bersama puluhan rekannya. Tiga di antaranya sudah sepuh. Mereka menyebut dirinya dengan Grandma & Friends. Mereka berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai pemilik dan pembeli sah dari unit di Apartemen Puncak Bukit Golf Surabaya.
Sudah hampir sembilan tahun sertifikat hak milik mereka tidak kunjung diberikan developer, Puncak Group. Sebuah perjalanan panjang dan sulit untuk mendapatkan haknya. Ia mengibaratkan perjuangan teri melawan ikan paus. Mereka ikan teri dan pengembang sebagai ikan paus.
Meski demikian, bagi mereka, tidak berjuang bagaikan mati muda sia-sia. "Kami sudah ada grup pemilik unit dan mencari lawyer terjangkau. Khan keuangan terbatas," ujarnya.