PADA 21 Februari 2024 saya mengikuti konferensi The Rise of Asia in Global History and Perspective di Paris Sorbonne, Prancis, bertema What Challenges and What Perspectives for Progressing Globally towards a Sustainable Prosperity in Peace, Justice, Cooperation, Diversity and Solidarity?
Menurut Prof Darwis Khudori sebagai inisiator konferensi, Asia memiliki keunikan terkait keanekaragaman. Ditandai dengan banyaknya perbedaan kondisi geografis, kesejarahan, semangat nasionalisme, kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk, tingkat pendapatan hingga sistem politik.
Dari sisi perbedaan politik, negara-negara Asia memiliki jenjang perbedaaan yang sangat tajam. Mulai dari yang paling kapitalis sampai paling sosialis; dari yang demokratis sampai otoritarian; dari yang satu partai sampai yang banyak partai, sehingga mereka memiliki perbedaan-perbedaan jalan menuju pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.
Ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi negara-negara di Asia dalam menggalang kolaborasi Asia untuk kekuatan bersama. Betapa tidak, rakyatnya masih saling berbatasan masih memiliki persoalan-persoalan konflik klasik yang turun temurun yang rentan menjadi ancaman konflik terbuka.
Contohnya India dengan Pakistan, Tiongkok dengan Jepang, Saudi Arabia dengan Iran, Korea Selatan dengan Korea Utara, dan lain-lain. Mungkin termasuk Indonesia dengan Malaysia atau dengan Singapura. Meskipun sangat kecil kadar potensi konfliknya, tapi setidaknya dahulu pernah terjadi konflik Dwikora di era Sukarno.
Satu hal yang sangat pernah menarik adalah ramalan dari konsultan ekonomi terkenal kelas dunia yaitu PWC yang melakukan riset, analisa dan prediksi tentang 10 besar negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pada 2050. Negara-negara Asia (di antaranya negara-negara Asia yang masuk dalam E7 yaitu Tiongkok, India, dan Indonesia) diproyeksikan masuk dalam lima besar negara dengan ekonomi tertinggi di dunia.
Ini menggembirakan. Tapi juga menimbulkan segudang pertanyaan mengingat tidak seperti negara-negara di benua Amerika dan Eropa, kekuatan ekonomi baru dunia yang didominasi negara-negara Asia yaitu Tiongkok, India, dan Indonesia pastinya akan memiliki karakter yang berbeda dengan Amerika maupun Eropa.
Lihat saja Amerika yang menjadi sentral kekuatan bagi negara barat. Mereka punya Pakta Pertahanan Militer Bersama (NATO) di Eropa, Parlemen Uni Eropa, mata uang bersama, dan hampir tidak ada konflik dengan sesama negara tetangga di Eropa Barat. Model-model seperti ini sangat sulit terjadi di Asia.
Prof Darwis dari Indonesia yang juga profesor di Universitas Le Havre Prancis, dibantu Izaac Bazie dari Burkina Faso yang menetap di Kanada sebagai chair dan co-chiar, memandu diskusi pertama.
Pembicaranya antara lain Dr Ouyang Xiangying (Tiongkok), CASS Chinese Academy of Social Sciences, Beijing; Dr Seema Mehra Parihar (India), Institute of Eminence, University of Delhi, Dr Connie Rahakundini Bakrie (Indonesia), Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung; Dr Makram Khoury Machool (Palestina), The Cambridge Centre for Palestine Studies, Cambridge. Mereka membahas tantangan, peluang, ancaman dan hambatan kolaborasi antar negara-negara di Asia.
Salah satu hambatan dan ancaman yang paling menonjol dan paling serius adalah soal Palestina. Machool pun mempertanyakan. “Jangankan bicara kesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Berbicara tentang keselamatan anak-anak dan perempuan Palestina untuk bertahan hidup, untuk menikmati perdamaian dan kemerdekaan saja masih tidak jelas. Lantas bagaimana kolaborasi Asia untuk membantu Palestina?”
Secara online dalam breakout sessions, pada 23 Februari 2024 saya berbicara soal Fisheries, Food Security And International Collaboration In The Production Sharing Contract (PSC) Scheme. Sumber daya perikanan dan kolaborasi internasional untuk ketahanan pangan dengan menggunakan skema PSC.
Tema dari disertasi saya itu bertujuan mengoptimalkan potensi perikanan tangkap di wilayah maritim Indonesia untuk peningkatan penerimaan negera dan pendapatan nelayan, serta untuk mencegah dan atau mengatasi ketegangan/konflik dengan negara-negara tetangga.
Terkait masalah perbatasan wilayah laut, penanggulangan illegal fishing yang hingga saat ini merugikan Indonesia hingga ratusan triliun rupiah yang perlu segera diselamatkan. Serta masalah lainnya seperti drug and human trafficking, perompakan, terorisme, dan lain-lain.
Di halaman ruang depan lokasi konferensi di Paris Sorbonne bersama Dr Ario Bimo Utomo, seorang dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jatim. -Didik-