Aksara Jawa dan Bahasa Jawa Kromo Menunggu Kebijakan Politik Bahasa Daerah

Jumat 01-03-2024,08:07 WIB
Reporter : Samidi M Baskoro
Editor : Heti Palestina Yunani

Menurunnya kemampuan berbahasa kromo inggil memang terjadi secara alamiah yang dipengaruhi oleh beragam faktor pengubah. Dahulu, bahasa kromo inggil pernah ditentang oleh beberapa tokoh yang menyuarakan penyederhanaan, kesederajatan, dan demokratisasi bahasa Jawa pada 1917. 

Pada saat itu, muncul gerakan melebur praktik berbahasa Jawa dan menganjurkan menggunakan ngoko untuk komunikasi formal ataupun non-formal. Para penggagas gerakan membentuk organisasi Djawa Dipa di Kota Surabaya yang dikembangkan ke beberapa kota/kabupaten di Jawa Timur. 

Djawa Dipa mewajibkan semua anggotanya untuk mempraktikkan berbahasa ngoko dengan siapa pun yang bertujuan mendorong solidaritas dan menciptakan masyarakat yang bersatu. Gerakan berbahasa Jawa ngoko memunculkan berbagai perlawanan yang menghendaki komunikasi secara alamiah. 

Akhirnya, ketahanan gerakan ini pupus setelah lima tahun diperjuangkan. Kini, peleburan bahasa kromo ke ngoko tanpa perlu anjuran dan gerakan. Minimnya penguasaan kosa kata dengan sendirinya telah menjauhkan praktik berbahasa kromo secara utuh.

Kondisi yang mengkhawatirkan terjadinya kepunahan adalah semakin banyak orang Jawa yang tidak mampu membaca aksara Jawa. Ada kesamaan pola yang terjadi antara orang Jawa di Suriname dan orang Jawa di Jawa. 

Jika orang Jawa Suriname mengalami penurunan kemahiran berbahasa Jawa, maka orang Jawa di Jawa mengalami penurunan penguasaan aksara Jawa. Maka, kemampuan penguasaan aksara Jawa, sebutan hanacaraka, berada pada kategori kemunduran menuju terancam punah.

Penurunan drastis kemampuan orang Jawa membaca aksara Jawa disebabkan oleh tidak adanya pembelajaran di lembaga pendidikan dan praktik baca-tulis yang nyaris terhenti. Ketika pusat kebudayaan Jawa di kraton, Surakarta dan Yogyakarta, masih kokoh dan aktif menggunakan bahasa dan aksara Jawa dalam penulisan naskah, maka aksara Jawa masih stabil. 

Pada akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20, kemampuan orang Jawa membaca aksara Jawa dikuatkan melalui media tulis baik buku maupun media massa cetak. Beberapa media cetak yang terbit di Surakarta dengan bahasa dan aksara Jawa adalah koran Bromartani (terbit pertama pada 1855) dan Darmo Kondo. 

Koran dan majalah bahasa Jawa beraksara latin juga tersebar di beberapa kota besar. Ada Panjebar Semangat (Surabaya), Jaya Baya (Surabaya), Jaka Lodang (Yogyakarta), Djawi Hisworo (Surakarta), dan Baluwarti (Surakarta). Sebagian masih bertahan meskipun mengalami penurunan oplah. Buku dan media cetak merupakan representasi kesinambungan bahasa dan aksara.

Ketika praktik bahasa daerah baik tuturan maupun tulisan mengalami situasi kritis di masyarakat, maka yang dibutuhkan adalah kebijakan politik bahasa daerah sebagai strategi pemertahanan bahasa dan aksara.

BACA JUGA: Bertema Bersahabat dengan Negeri Seberang, Konjen Australia di Surabaya Gelar Kompetisi Bahasa se-Jawa Timur

Contoh: kebijakan pemerintah kota Surabaya, berdasarkan Surat Edaran Sekretaris Daerah pada 19 September 2023, yang mengimbau penulisan aksara Jawa pada papan nama di kantor organisasi perangkat daerah, kecamatan, kelurahan, dan ruang publik. 

Kebijakan ini setidaknya patut diapresiasi sebagai wujud tindakan. Minimal mengingatkan kembali bahwa masyarakat Jawa sebagai penerus warisan budaya Jawa. Akan lebih menggeliat lagi melalui pembelajaran kembali dalam wujud gerakan belajar aksara Jawa pada tingkat satuan pendidikan.

Semoga kebijakan pemerintah terkait bahasa daerah berlanjut pada tataran substantif dan menyebar di tingkat yang lebih luas (provinsi). (*)

Oleh: Samidi M. Baskoro, dosen di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Kategori :