Korporasi Petani, Kekuatan Ketahanan Pangan

Sabtu 02-03-2024,23:38 WIB
Oleh: Budi Raharjo

Dilihat dari istilah, korporasi sebetulnya upaya peningkatan kualitas kelembagaan/usaha koperasi ditambah anggota lain yang dapat bersifat badan hukum koperasi atau perusahaan. 

Dari definisi dan istilah itu, diharapkan terjadi transformasi infrastruktur sosial ekonomi menuju kegiatan ekonomi berbasis korporat. Lalu, pertanyaannya, kenapa harus korporasi? Sebab, Indonesia tidak sekadar butuh petani, tetapi juga pengusaha di sektor pertanian. 

BACA JUGA: Ribuan Petani dan Peternak Sambut Prabowo di Sumedang

Dengan korporasi petani, pengelolaan sumber daya bisa lebih optimal. Petani mampu menurunkan biaya produksi karena sistem pembelian dan pengelolaan pertanian secara kolektif. Mulai penyediaan bibit, pupuk, pengolahan lahan, hingga alat/mesin pertanian secara efisien. 

Pembelian hasil panen dengan harga yang kompetitif, penyediaan bahan baku mata rantai rice milling unit (RMU), mengoptimalkan produksi off-farm melalui pengolahan residu hasil pertanian (sekam dan jerami), pengelolaan sistem resi (simpan) gudang gabah dan beras, serta lumbung-limbung desa. 

Dengan demikian, kesejahteraan petani dapat meningkat, tidak saat panen semata. Contohnya, pengalaman pembentukan Korporasi Petani Sarana Agro Lestari (Santri) di Kabupaten Jombang dengan anggota 10 Gapoktan, 4.641 petani, 2.689 Ha, dan produksi 19.876 ton menjadi kekuatan sirkuler ekonomi yang 55 persen saham lembaga tersebut dimiliki petani. 

BACA JUGA: Prabowo-Gibran Berkomitmen Sejahterakan Petani

PETA KEKUATAN  

Berkaca dari rentannya kegagalan komitmen anggota untuk menjaga keutuhan kelompok dan kekuatan program grameen bank dalam penyaluran kredit mikro bagi golongan masyarakat miskin, ada unsur potensi kekuatan internal dan eksternal dalam implementasi perubahan transformasi sosio-ekonomi-kultural.

Gambaran kebutuhan internal teori David C. McClelland sebagai unsur dominan dorongan individu untuk mengungguli dan berprestasi  dengan seperangkat standar, berproses untuk sukses. 

Hasilnya, ditemukan kekuatan internal kebutuhan orientasi tinggi, kesedian menerima risiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, dan keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. 

Kelompok percaya, lembaga akan memberikan pemuasan keinginannya sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya. Pendekatan teori V. Room, motif harapan anggota inti menjadi energi utama bergabung dan berkeinginan bersama dalam korporasi petani. 

Variabel menjaga harapan pengelolaan seperti jaminan bibit, pupuk, biaya pengolahan dan panen, nilai harga gabah, nilai tawar, nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan, dan respons cepat penyelesain aduan/keluhan kepada manajemen yang termasuk harus tetap dipertahankan, selain kekuatan dalam empati antaranggota kelompok. 

Sedangkan, kebutuhan eksternal berupa dukung komitmen investor sebagai anggota mitra multipihak, PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI), Pupuk Indonesia, dan dukungan pemda. 

Catatan lainnya adalah pengalaman dalam membentuk sebuah kelembagaan membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Lamanya waktu kelembagaan tersebut sangat dipengaruhi dari terjaganya beberapa faktor kepentingan dan manfaat yang diterima anggota.

Pada akhirnya, tantangan pengendalian inflasi pangan di Jawa Timur sebagai provinsi produsen adalah keberadaan lembaga korporasi petani sebagai alternatif strategis solusi struktural pengelolaan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi. 

Kategori :