Sehingga, argumentasi penentuan tersebut juga ilmiah.
“Kemenag terus membuka ruang dialog dan diskusi terkait penentuan awal Ramadan. Dari situ diharapkan akan terjadi proses tukar informasi dan pemahaman terkait pilihan dalam mengawali puasa Ramadan,” sambung Anna.
Misalkan, Muhammadiyah yang menetapkan awal puasa Ramadan pada 11 Maret dengan adanya argumentasi hisab wujudul hilal.
Kemudian, pemerintah menggunakan pendekatan hisab sebagai informasi awal dan Rukyatul Hilal sebagai konfirmasi.
“Bagaimana argumentasi awal Ramadan 1445 H pada 7 Maret atau 10 Maret? Kita bisa diskusikan agar bisa saling memberikan pemahaman,” terang Anna.
Selain hal tersebut, ada hal yang lebih penting jelas Anna, yakni bagaimana umat Islam bisa mengisi syiar Ramadan dengan tetap menjaga kekhusyukan dan kekhidmatan beribadah.
Ikhtiar yang dapat dilakukan adalah dengan memedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Misalnya, volume pengeras suara diatur dengan memperhatikan kebutuhan dan paling besar 100 dB (seratus decibel).
“Edaran juga mengatur bahwa penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam,” jelasnya.
“Sementara untuk takbir Idul Fitri di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam,” tandasnya.
Dengan demikian, dialog dan sikap saling menghormati sangat perlu dikedepankan terutama dalam hal perbedaan awal puasa Ramadan 1445 H/2024 M ini.(*)