Pada akhir abad ke-19, pendatang dari Tionghoa memperkenalkan konsumsi daging anjing kepada masyarakat Solo. Bukan sekadar mengonsumsi, daging anjing dianggap sebagai ”jamu” yang dipercaya dapat meningkatkan vitalitas pria dan menambah kebugaran.
Kepercayaan masyarakat akan ”khasiat” yang dihasilkan setelah mengonsumsi daging nonpangan masih ada hingga sekarang dan senantiasa mengalami regenerasi. Informasi khasiat daging nonpangan disampaikan secara getok tular alias dari mulut ke mulut sehingga menyebar ke sebagian besar masyarakat.
Selain faktor historis dan kultural, faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong maraknya perdagangan dan konsumsi daging anjing di Indonesia. Daging anjing memiliki nilai ekonomis.
Perputaran uang dari bisnis perdagangan daging anjing di Solo, Jawa Tengah, mencapai belasan miliar rupiah setiap bulan (Kresna, 2016). Bisnis perdagangan daging anjing dapat melejit karena harga daging lebih murah jika dibandingkan dengan daging ayam dan sapi sehingga menjadi opsi bagi masyarakat yang mengutamakan makanan yang ”ekonomis”.
Beberapa alasan mendasar itulah yang mengganjal perjuangan aktivis pencinta hewan untuk menekan angka perdagangan daging hewan nonpangan, khususnya anjing. Tak heran jika muncul suara sumbang yang menyebutkan bahwa gerakan para aktivis pencinta hewan terlalu berparadigma Barat dan terkena pengaruh westernisasi.
Memang tidak salah jika gerakan menyelamatkan hewan dan memberikan hak hidup bagi binatang disebut berparadigma Barat. Sebab, pada dasarnya gerakan sosial semacam itu muncul sejak 1975.
Dimulai pada saat Peter Singer menulis buku yang berjudul Animal Liberation: A New Ethics for Our Treatment. Buku tersebut mengilhami para pencinta binatang untuk bergerak mengampanyakan perlindungan bagi hewan.
SOROTAN DUNIA UNTUK BISNIS GUKGUK DI INDONESIA
Perdagangan daging anjing di Indonesia mendapat sorotan dari World Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture of United Nations (FAO) karena dinilai melanggar hukum dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
The ASEAN Post Team (2020) mengungkap bahwa perdagangan anjing di Indonesia mendapat respons negatif karena melanggar upaya perlindungan terhadap hewan dari kekejaman.
Tidak dikendalikannya bisnis perdagangan anjing dikhawatirkan dapat berdampak pada peningkatan kasus rabies. Humane Society International menegaskan bahwa perdagangan anjing di Indonesia dapat menggagalkan upaya pemerintah dan masyarakat untuk terbebas dari rabies.
Masyarakat perlu menyadari bahwa daging anjing yang dikonsumsi dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (2016) menyebutkan bahwa penular utama rabies di tanah air ialah anjing dengan persentase 98 persen.
Selain berpotensi menularkan rabies saat proses memperdagangkannya, daging anjing yang dikonsumsi dapat mengakibatkan gangguan pencernaan, kolera, dan hipertensi.
Risiko gangguan kesehatan seusai mengonsumsi daging anjing bisa terjadi karena di dalam daging ”gukguk” terkandung 60 persen udara yang dapat mempercepat pertumbuhan parasit dan kontaminasi mikroba.
Menurut Journal of Aasiyah Health Research, risiko infeksi bakteri dapat meningkat hingga 20 kali lipat saat daging anjing dikonsumsi manusia.