Asa Memutus Mata Rantai Perdagangan Daging Anjing

Sabtu 16-03-2024,23:26 WIB
Oleh: Anwar Ma'ruf

PERJUANGAN kelompok pencinta binatang anjing, khususnya Dog Meat Free Indonesia (DMFI), belum berakhir. Kelompok tersebut masih terus mengepalkan tangan dan mengayuh roda perjuangan untuk mendorong pemangku kebijakan agar membuat regulasi yang secara tegas melarang perdagangan daging anjing di Indonesia. 

Perjuangan tidak hanya datang dari DMFI, tetapi juga dari beberapa komunitas pencinta binatang yang menyuarakan perlindungan terhadap hewan nonpangan agar tidak dikonsumsi secara ilegal. Desakan terhadap pemerintah untuk memberikan ketegasan atas perdagangan daging anjing membuahkan hasil.

BACA JUGA: Pembunuhan Fitria Wulandari, Bagai Anjing Penjaga Bunuh Majikan 

Beberapa daerah telah mengeluarkan larangan konsumsi daging anjing. Misalnya, di Karanganyar, pemerintah setempat mengeluarkan Perbup Karanganyar Nomor 74 Tahun 2019 yang di dalamnya memuat larangan mengonsumsi daging anjing. 

Landasan dari perbup Karanganyar tersebut salah satunya ialah UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kendati demikian, asa para aktivis hewan masih terus ada hingga pemerintah memberikan payung hukum yang jelas dan tegas tentang perdagangan daging hewan nonpangan. 

BACA JUGA: Temui Relawan, Prabowo : Jangan Mau Disamakan dengan Anjing!

TERGANJAL SOSIOKULTURAL

Kampanye yang menyuarakan perlindungan hewan di Indonesia menghadapi banyak tantangan. Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk memberikan ”hak hidup” dan perlindungan terhadap hewan, Indonesia justru menghadapi situasi yang berbeda. 

Sebagaimana telah disiarkan di sejumlah media massa dan sosial, pada 6 Januari 2024, pihak kepolisian bersama dengan aktivis hewan berhasil menggagalkan pengiriman 226 anjing di gerbang tol Kalikangkung, Semarang, Jawa Tengah. 

Anjing dalam truk tersebut diikat dan dibungkam agar tidak bergerak dan menggonggong. Kasus tersebut menjadi bukti bahwa kesadaran masyarakat untuk tidak mengonsumsi daging nonpangan masih rendah. Hal tersebut selaras dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melindungi dan memberikan hak hidup bagi hewan.

BACA JUGA: Siberian Husky, Si Anjing Ramah, Bisa jadi Peliharaan yang Asyik

Kendati demikian, jika dilihat secara komprehensif, sejatinya ada faktor sosiokultural penyebab masyarakat masih kerap mengonsumsi daging nonpangan, khususnya anjing. 

Secara historis, budaya mengonsumsi daging anjing sudah ada sejak masa lampau. Contohnya, di Sulawesi Utara, kala itu etnis Minahasa sedang mengalami penurunan hasil buruan untuk dikonsumsi. Adapun yang tersisa saat itu hanya anjing. 

Dengan demikian, karena kondisi yang mendesak, etnis Minahasa saat itu mulai mengonsumsi anjing. Kebiasaan mengonsumsi daging anjing di Sulawesi Utara masih langgeng hingga saat ini. Itu terbukti dengan adanya Pasar Tomohon yang menjadi pusat perdagangan makanan nonpangan di Sulawesi Utara (Wichart, 2014). 

BACA JUGA: Camat Lakarsantri Dukung Penuh Komunitas Pecinta Anjing, Asalkan Jaga Kebersihan

Kategori :