PEMILIHAN umum untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR/DPRD, dan DPD periode 2024–2029 telah berlalu dan saat ini dalam periode penghitungan suara secara real count. Meski demikian, isu tentang wilayah perbatasan tidak menjadi pembahasan utama saat perdebatan antar-calon presiden dan wapres.
Yang terdengar adalah pernyataan salah seorang calon wapres bahwa jika mereka terpilih, program makan siang gratis untuk siswa sekolah akan dimulai dari wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pemberitaan tentang wilayah perbatasan pada 2023 tidak seramai tahun sebelumnya. Menjelang akhir tahun 2022, misalnya, sejumlah berita tentang apa yang terjadi di Pulau Sebatik menghiasi sejumlah media.
Pertama, berita tentang personel Satgas Marinir Ambalat XXVIII mengamankan tiga WNA di Sei Pancang, Sebatik. Kedua, Satgas Pamtas Darat RI-Malaysia Yonif 621/Manuntung menggagalkan upaya penyelundupan narkoba jenis sabu-sabu di Pantai Desa Bukit Aru Indah, Kecamatan Sebatik Timur, Kabupaten Nunukan.
Ketiga, Bank Indonesia (BI) menyebarkan uang rupiah baru tahun emisi 2022 ke seluruh penjuru Indonesia. Salah satunya di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Keempat, berita tentang kunjungan kerja Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Tito Karnavian bersama Mahfud MD ke Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Sulut), pada Selasa, 24 Mei 2022 (Disway).
Apa yang terjadi di Pulau Sebatik mewakili apa yang terjadi di sejumlah wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain. Pulau itu adalah 1 di antara 92 pulau terluar Indonesia.
Tidak terhitung banyaknya laporan jurnalisme tentang pulau yang eksotis itu. Tidak terhitung pula banyak penyelenggara negara, mulai presiden, anggota DPR, dirjen, hingga menteri.
Merespons kunjungan itu, seorang penduduk berujar, ”Hanya malaikat yang belum mengunjungi pulau ini.” Ungkapan yang bernada sinis tersebut sangat wajar lantaran tidak ada perubahan signifikan pasca kunjungan tersebut.
Berbagai infrastruktur seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, listrik, air bersih, dan fasilitas publik lainnya masih sangat minim jika dibandingkan dengan Nunukan (untuk tidak membandingkan dengan Tawau di seberangnya yang kondisinya antara bumi dan langit).
Keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan pemerintah Malaysia dalam kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan pada 18 Desember 2002 atau kasus hendak ”dicaploknya” Blok Ambalat hanya menyadarkan sesaat betapa pentingnya menjaga pulau-pulau terdepan dan wilayah perbatasan dengan negara lain.
Kasus tersebut tampaknya tidak cukup ampuh untuk membuat pemerintah lebih peduli terhadap ”halaman depan rumah” Indonesia itu.
Terdapat banyak hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan Sebatik.
Pertama, perbatasan itu seyogianya tidak hanya dilihat sebagai konsep geografis-spasial (geographical space). Masalah geografis-spasial dapat diselesaikan ketika dua negara yang memiliki perbatasan yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya yang ditandai dengan pemasangan tembok, pagar, atau patok.
Akan tetapi, persoalan perbatasan juga harus dilihat dari perspektif sosial-budaya (sociocultural space). Dengan perspektif itu, batasan-batasan yang bersifat konvensional mencair. Perbatasan memiliki makna baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi hanya terikat pada pengertian yang bersifat teritorial (Tirtosudarmo, 2002).