Semua bermula dari isu. Dari isu menghasilkan dukungan masyarakat. Setelah dukungan masyarakat dinilai antusias, barulah si calon benar-benar maju ke pemilihan. Terbukti, Gibran bakal menang pilpres.
BACA JUGA: Respons Keberlanjutan Program Jokowi, PPN Naik Menjadi 12 persen
Itu semua terjadi karena mayoritas masyarakat Indonesia mengagumi kinerja Presiden Jokowi. Berdasar hasil survei, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi 81 persen. Tertinggi dari semua presiden Indonesia.
Jadi, apakah ada yang salah jika keluarga besar Jokowi terjun ke politik dan menang pemilihan? Jawabnya, tidak. Keluarga besar Jokowi kan cuma berikhtiar. Sama halnya ribuan peserta Pemilu 2024 yang berikhtiar. Jadi peserta pemilu. Penentunya adalah rakyat.
Karena rakyat suka pada Presiden Jokowi, seluruh keluarga Jokowi bakal didukung rakyat jika ikut pemilu atau pilkada. Begitu logikanya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Resmikan 33 Ruas Inpres Jalan Daerah Provinsi Jawa Timur Bagian Selatan
Seumpama, Jan Ethes, cucu Jokowi, kini sudah dewasa dan maju ke pemilihan wali kota Solo, mungkin bisa menang. Soal curang atau tidak, kan harus dibuktikan oleh penggugat. Lalu, jadi gugatan pilkada.
Tapi, tidak begitu buat lawan politik Jokowi. Setidaknya, buat orang yang terkejut dengan fenomena keluarga besar Jokowi. Terbaru, disampaikan pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti di acara bertajuk Omon-Omon soal Oposisi Minggu, 10 Maret 2024.
Dilihat dari judulnya, acara itu kelihatan tidak formal. Tapi, pernyataan Ikrar sangat serius. Begini:
BACA JUGA: Bakal Jadi Kekuatan Ekonomi Global, Presiden Jokowi Ajak Australia Berinvestasi di ASEAN
”Masak, kita pemilik negeri ini, pemilik kedaulatan rakyat, bukan anak kos dari negeri ini, masak dikalahkan oleh satu keluarga yang jumlahnya lima orang itu? (maksudnya, keluarga Jokowi). Jadi, ini yang berkali-kali saya katakan, sampai seperti kaset rusak gitu kan.”
Ucapan Ikrar bersifat dikotomi. Antara rakyat pemilik negeri ini dan keluarga Jokowi. Pemilahan keliru. Seolah keluarga Jokowi bukan anggota dari rakyat pemilik negeri ini. Kecuali, dikotomi antara rakyat pemilik negeri ini dengan (misalnya) Kim Jong-un.
Ikrar: ”Anda bisa bayangkan, Gibran yang belum jadi apa-apa, itu bisa ngomong kepada tim suksesnya ya, bahwa ’tolong, tolong adik saya supaya suaranya itu bisa mencapai angka yang kemudian bisa masuk parlemen’. Saya ngomong gini bukan mustahil angka untuk 4 persen PSI masuk itu bisa terjadi kalau kita membiarkan perhitungan suara yang kacau itu di KPU itu terus berjalan.”
BACA JUGA: KTT Khusus ASEAN-Australia Resmi Berakhir, Jokowi Pulang ke Tanah Air
Dilanjut: ”Dan, bukan mustahil jangan-jangan nanti istrinya Kaesang ataupun Gibran juga akan jadi pejabat mana. Calon bupati, nah… ini kan. Tuh, istrinya Kaesang akan jadi calon bupati Sleman. Kaesang akan jadi calon bupati Batang, ya? Jangan emosi, ya.”
Indonesia negara demokrasi. Orang bebas bicara, lengkap dengan tanggung jawab atas isi pembicaraan. Karena itu, tidak ada yang melarang Ikrar bicara. Meskipun bersifat agitatif. Asal, tidak menghina seseorang di depan publik.