SURABAYA, HARIAN DISWAY - Tampak gelora umat telah meningkat memasuki dan menikmati hari-hari Ramadan ini. Ada kesan, ada pelajaran, ada hikmah, ada saat-saat perenungan diri. Para pengiman seyakin-yakinnya terpanggil dalam beribadah puasa.
Ramadan meluaskan areal jelajah tiada tepi dan garis demarkasi. Antara hamba dengan Rabbnya. Bulan yang kepadanya segala hikmah dipersembahkan. Pintu-pintu keberkahan dibuka. Pengampunan, rahmat, dan kemuliaan digelar dengan segala ornamen istimewa. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap detak pijaran mongso Ramadan.
Puasa menjadi media komunikasi yang paling terang tanpa gangguan “android ragawi” karena Allah SWT hadir pada setiap deret kegiatan. Niat ingsun poso adalah penanda untuk terselenggarakannya panggung Ramadan yang memiliki beragam fenomena: bertadarus, nderes Kitab Suci tiada henti untuk melantunkan ayat-ayat Illahi yang ternarasikan dalam Al-Qur’an.
BACA JUGA: Tradisi Ramadan Berbagai Daerah di Indonesia
Hanya di Ramadan muncul kelas khusus namanya pondok Ramadan. Anak saya dan anak Anda. Lihat saja di banyak sekolah diselenggarakan acara pondok Ramadan. Forum ini sejatinya adalah ”mengisolasi jiwa-raga” dari invasi kemudaratan.
Mondok berarti kesediaan menepikan diri untuk melahirkan peradaban baru. Manusia berakhlak baru, berbudi pekerti anyar. Akan datang insan yang lulus dari jiwa beruzlah, bermeditasi di pondok Ramadan. Inilah manifesto deret waktu kisah “dekrit ketuhanan” ketika Muhammad bin Abdullah menjadi Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT “memondokkan” Muhammad bin Abdullah untuk prosesi pengangatannya selaku Sang Utusan. Dalam skala yang paling bertauhid adalah bahwa pondok Ramadan merupakan areal tranformasi disematnya status baru para pesertanya.
Dan tempat yang darinyalah “pondok Ramadan” itu menghasilkan peradaban baru yang dikonstruksi Tuhan adalah Jabal Nur. Gunung Cahaya, gunung yang berjarak sekitar 2 mil saja dari Makkah. Gunung ini sekilas pandang terlihat sederhana. Tetapi sangat memukau bagi yang jeli menelisik.
Di puncak Jabal Nur inilah ada tebing dalam lereng yang sulit diraih yang menyediakan “ruang pewahyuan”: Gua Hira. Sebuah gua yang sempit dan jauh dari tingkat kenyamanan kamar-kamar kaum modernis, room hotel berbintang.
Gua Hira hanya berukuran: panjang 1,8 meter dan lebar 0,8 meter. Di sinilah Nabi Muhammad SAW, Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendapatkan gelar Al-Amin (jujur-terpercaya) dari bangsanya itu, diasah bersama alam.
Beliau menempuh jelajah hening yang imun dari gemerlap duniawi. Menyendirikan jiwa-raganya untuk menemukan kesejatian, me-nyuwung-kan jasad memendarkan ruhani menyapa Illahi dengan gerakan uzla, topo, memes rogo lan roso, bertahannuts, berkhalwat, bermeditasi mendialogkan cita kepada Yang Maha Tinggi.
Dengan Ramadan yang mendorong situasi orang beribadah lebih intens akan datang insan yang lulus dari jiwa yang beruzlah. --
Langkah ini ditempuh mengingat di luaran Gua Hira terjadi tragedi kehidupan yang mengerikan. Manusia kehilangan martabatnya dengan bertindak zalim dan nista. Pembunuhan anak-anak perempuan yang baru lahir dan merendahkan derajat wanita serta menjadikan materi (batu maupun adonan kue) sebagai sesembahan berhala. Suatu ekspresi jiwa yang sangat jahil. Bodoh sebodoh-bodohnya.
Nabi Muhammad SAW terpanggil untuk mengatasi kejahiliyahan ruhani ini mengingat secara fisik bangsa Quraisy amatlah maju infrastrukturnya, Makkah adalah pusat adat dan perdagangan, kota transkafila yang menguntungkan secara ekonomi.
Makkah memiliki sumber daya teologis sempurna dari Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS dengan Ka’bah dan sumur zamzam. Hanya saja akibat watak jahiliyah (orang cerdas tanpa hidayah) inilah, Baitullah diberi ornamen patung-patung, arca-arca yang disembah sebagai Tuhan.
BACA JUGA: Khasanah Ramadan (3): Menebar Takjil Jalanan