Sekeluarga Loncat dari Apartemen, Bunuh Diri atau Dibunuh?

Rabu 20-03-2024,20:00 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Di dalam lift, sang ibu meminta HP tiga orang itu. Semua HP, termasuk HP ibu, dikumpulkan di tas ibu. Lift menuju lantai 21. Itulah lantai tertinggi di sana. Lantas, mereka naik tangga ke rooftop. 

Di pintu keluar rooftop ada dua jurusan. Ke kanan ada kelenteng. Ke kiri ada taman. Menurut polisi, sang ibu menuju kelenteng. Lainnya menuju taman.  ”Ibunya sembahyang di kelenteng, cuma beberapa menit. Selesai sembahyang, dia bergabung dengan yang lain di taman. Itu sesuai keterangan penjaga kelenteng,” ungkap Gidion. 

Di taman itulah, diduga mereka mengikat tangan, dua-dua. Akhirnya meloncat. Petugas kelenteng tidak melihat saat keluarga itu meloncat. Sebab, dari arah kelenteng, area taman memang tidak terlihat. 

Petugas itu juga mengatakan ke polisi, tidak ada tanda-tanda si ibu bakal bunuh diri. Gelagat ibu itu wajar, tenang, juga tidak bicara kepada petugas kelenteng.

Kronologi berdasar pantauan kamera CCTV dan kesaksian petugas kelenteng itu bisa ditafsirkan, mereka merencanakan bunuh diri. Dari adegan ayah mencium kening anggota keluarganya. Juga, ibu mengumpulkan HP semua anggota keluarga. Tanda bahwa hati mereka sudah mantap bunuh diri. Tapi, itu bersifat penafsiran. Bukan bukti hukum. 

Polisi sudah memeriksa empat HP itu. Semuanya rusak akibat jatuh. Tak bisa diungkap isinya. 

Satu hal penting, saksi Arif, penghuni apartemen yang tetangga keluarga itu. Ia mengatakan kenal dengan si ayah. Kata Arif, dulu si ayah punya bisnis kapal penangkap ikan. Tapi, sejak Covid 2021, si ayah bangkrut. Lalu, keluarga itu kesulitan keuangan. Bahkan, kesulitan nafkah. Arif mengaku pernah membantunya dengan memberikan Rp 3 juta, tanpa diminta oleh keluarga itu.

Arif: ”Setelah kesulitan keuangan, mereka pindah ke Solo, setahun lalu. Katanya akan mencari usaha lain. Tahu-tahu mereka balik ke sini untuk nekat begitu.”

Dua anak remaja itu sudah berhenti sekolah sejak setahun lalu. Tidak sekolah lagi sejak pindah ke Solo. Dahulu mereka sekolah di sekolah elite di Jakarta Utara.

Dari rangkaian itu, bisa diduga mereka kesulitan nafkah. Semula pebisnis kapal, lalu bangkrut. Si ayah tidak mau, atau tidak punya kesempatan, bisnis kecil-kecilan. Mereka pilih bunuh diri. Motif ekonomi.

Dikutip dari CNN, Rabu, 28 Januari 2009, berjudul With no job and 5 kids, ”better to end our lives”, man wrote, mirip kejadian keluarga EA itu. Peristiwanya di Los Angeles, Amerika Serikat (AS).

CNN memberitakan, peristiwa itu digambarkan LAPD (Los Angeles Police Department) sebagai salah satu pemandangan paling mengerikan yang pernah ditemui polisi setempat. Ada tujuh mayat, semuanya tertembak di kepala. Terdiri atas ayah, ibu, dan lima anak mereka. 

Yakni, Ervin Antonio Lupoe, 40, dan istri, Ana Elizabeth Lupoe, 38. Kemudian, lima anak mereka: Brittney Nicole, 8, lalu si kembar Jaszmin Lissette dan Jassely Lisbeth, 5, dan si kembar lagi Christian De Shawn dan Benjamin Ryan, 2.

Polisi menemukan lima mayat itu tertembak di kepala di dalam rumah mereka di Wilmington, pinggiran Los Angeles. Polisi menduga, kepala keluarga, Lupoe, menembak anggota keluarga satu demi satu, kemudian Lupoe menembak kepalanya sendiri.

Sebelum mereka bunuh diri, Lupoe mengirim surat melalui faksimile ke stasiun televisi Los Angeles KABC. Isinya pemberitahuan bahwa Lupoe sekeluarga akan bunuh diri karena Lupoe dan istri yang sama-sama bekerja sebagai teknisi di Pusat Medis Los Angeles Barat, Kaiser Permanente, sama-sama dipecat sebulan sebelumnya.

Lupoe menuliskan ucapan atasan kerjanya saat memecat suami istri Lupoe, 23 Desember 2008, begini: ”Saya diberi tahu oleh administrator saya... bahwa: ’Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot masuk kerja hari ini. Kamu seharusnya meledakkan dirimu. Keluar…. Kamu’.”

Kategori :