HARIAN DISWAY - Saya sangat takjub menyaksikan kenyataan bahwa Ramadan ini memang bulan yang dahsyat. Bulan yang biasanya didawuhkan di masjid-masjid dan surau-surau kampung kelahiran dulu sebagai masa yang penuh dengan rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari api neraka.
Kini saya menyimak dengan antusiasme adanya realitas nyata yang tergelar di deretan gang-gang perkotaan. Saya dan siapa saja pasti tertegun apabila membaca dengan makna atas fakta yang tergelar di hadapannya. Para penjual dan pembeli takjilan pada titik rentang waktu antara Ashar dan Maghrib. Apa yang terhelat?
Warga kota tumpah di banyak tempat dagangan takjil. Tidak peduli rasnya, andai saja masih boleh omon-omon soal ras. Mereka, warga perkotaan di metropolitan ataupun di lingkup kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, kelurahan-kelurahan.
Lihatlah hamparan manusia yang berkerumun di areal perdagangan jajanan takjil itu. Berbagai latar agama yang berbeda, warna kulit yang beragam, dan tentu kosakata serta aksentuasi bahasanya menandakan dari bersuku-suku bangsa di Nusantara.
BACA JUGA: Menyegarkan! Lima Macam Menu ini Cocok untuk Buka Puasa
Kerumunan pembeli dan penjual itu dipersatukan oleh jajanan takjil. Simple banget bangsa ini. Emak-emak dari pelbagai pelosok pojok-pojok kota itu semburat membeli makanan untuk keperluan takjil bagi yang puasa. Atau untuk keperluan makan malam bagi yang tidak berpuasa, pun yang nonmuslim.
Coba amati dengan kejujuran batin kebangsaan. Ini adalah cermin adanya pembauran berbangsa oleh gerakan dagang takjilan di masa bulan Ramadan. Berarti Ramadan ini sejatinya juga “Bulan Pembauran serta Persatuan”. Berikut peneguhan kebangsaan yang semakin kokoh bagi Indonesia.
Saya menyimak obrolan dan relasi di antara mereka terlihat sudah aman-nyaman dan tidak membincang lagi isu-isu soal kepemiluan. Takjilan ternyata mempersatukan. Bangsa ini cair dan rekat oleh sesuatu yang spiritual sekaligus berdampak sosial besar dengan meringankan ibu-ibu untuk tidak masak sore-sore. Cukup datang ke lokasi pinggir jalan, mereka dapat makanan sekaligus saling bertegur sapa.
Memang setiap fenomena bukanlah ketunggalan yang tidak terjamah. Apa yang ada tidak imun dari perspektif yang menghentakkan daya pikir untuk meningkatkan iman. Pengamatan harian selama Ramadan ini banyak pelajaran. Profesi dagang yang penuh kemuliaan sontak diterapkan. Halaman masjid, jalanan depan rumah dan lapangan kampung telah dipenuhi penjual takjilan yang menawarkan beragam pilihan.
PILIHAN TAKJIL: Rupa-rupa makanan khas yang muncul saat puasa ditawarkan para pedagang di pasar Ramadan ini sangat memikat mereka yang hendak berbuka puasa. --istockphoto
Menunya sangat beraneka warna dan rasanya sesuai selera bagi orang yang lagi puasa maupun tidak. Anak-anak hadir membantu orang tua berjualan berjenis-jenis es dan camilan, gorengan, dan makanan utama. Semuanya tersedia.
Ramadan ini perekonomian umat bergerak. Ketercukupan makanan terpenuhi dan semuanya nyaris laris. Terhadap hal ini ada yang semakin tertarik mempelajari Islam dengan segala keriuhannya.
Ada lagi pandangan. Jumlah pedagang santapan berbuka ini menjadi “ledakan mobilitas umat”. Ini diteliti oleh para kolega. Ada simpul betapa Ramadan menggulirkan daya kekuatan. Para keluarga berikhtiar membuat semarak bulan penuh rahmat ini. Tidak hanya mengaji tetapi dagang takjilan.
BACA JUGA:7 Makanan Indonesia Ini selalu Muncul sebagai Kuliner Khas ketika Ramadan Tiba, Apa Saja?
Pokoknya ada ubet untuk memakmurkan Ramadan. Pernak-perniknya telah mengajarkan banyak hal. Keberkahan memang dijanjikan Tuhan bulan Ramadan ini. Setiap yang terjadi tidak sia-sia bagi mereka yang mau berpikir (bukan berotak saja): Al-ladziina yadzkuruunallaaha qiyaamaw wa qu'uudaw wa 'alaa junuubihim wa yatafakkaruuna fi khalqis-samaawaati wal-ard, rabbanaa maa khalaqta haadzaa baatilaa(n), subḥaanaka fa qinaa 'adzaban-naar.