APA yang muncul di kepala tatkala mendengar istilah diplomasi? Tak salah jika kita lantas membayangkan sekelompok orang berjas, berdebat, dan berdiskusi di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Boleh jadi pula, kita membayangkan dua presiden saling bersalaman dengan latar bendera negara masing-masing.
Memang, secara tradisional, diplomasi adalah pelaksanaan kebijakan luar negeri yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Seperti yang diungkapkan Charles Freeman dalam Arts and Power, diplomasi merupakan sebuah praktik statecraft atau kegiatan strategis negara untuk mencapai tujuannya di belantara global.
BACA JUGA: Bak Srikandi Diplomasi, Menlu Retno Bawa Pulang Medali Emas Hari Pers Nasional dari PWI
Negara-negara berdiplomasi dalam topik yang beraneka rupa. Mulai membuka perjanjian dagang baru, mempromosikan pariwisata, hingga sesuatu yang lebih fundamental seperti mencegah timbulnya konflik bersenjata.
Namun, lama-lama praktik diplomasi terus mengalami disrupsi. Dunia yang makin terkoneksi justru mengakibatkan isu-isu global kian kompleks untuk ditangani negara secara terpusat.
Meminjam istilah Daniel Bell, globalisasi kini membuat negara terlalu kecil untuk masalah besar, tapi di saat yang sama juga terlalu besar untuk masalah kecil. Sebagai contoh, kita bisa melihat isu global seperti perubahan iklim yang seolah-olah terjadi jauh di sana, tapi dampaknya juga muncul dalam masalah sehari-hari seperti krisis air dan gangguan kesehatan.
BACA JUGA: Makna Dibalik ‘Diplomasi Phinisi’ Rancangan Jokowi
Negara, dalam hal ini, tak hanya memerlukan kerja sama dengan negara lain. Namun, juga harus memastikan bahwa wilayah-wilayah di dalamnya terkendali.
Selain itu, masih hangat di benak kita kelamnya masa pandemi Covid-19, ketika banyak negara kewalahan menyeimbangkan performa ekonomi makro dan meminimalkan korban berjatuhan.
Kasus itu juga membuktikan betapa isu-isu global sejatinya memiliki dampak yang sangat lokal dan perlu mendapatkan perhatian menyeluruh. Itulah yang pada akhirnya menjadikan ilmu hubungan internasional tertarik melihat bagaimana negara mendelegasikan kekuasaannya dalam rangka menangani masalah tersebut.
BACA JUGA: Merajut Kembali Jalur Keilmuan dengan Mesir dan Diplomasi Antiradikalisme
Kota, dalam hal ini, adalah salah satu unit politik yang mulai disoroti perannya dalam diskursus tentang diplomasi. Bank Dunia menyatakan bahwa per 2022, sekitar 55 persen warga dunia tinggal di wilayah perkotaan.
Jumlah itu diprediksi meningkat 1,5 kali lipat pada 2045. Dengan demikian, berbicara tentang negara sejatinya juga berbicara tentang kota sebagai akumulator kapital dan sumber daya manusia. Akhirnya, kita tak dapat lagi mengabaikan peran kota di dalam hubungan internasional.
Pun, sebelum kita mengenal sistem negara-bangsa pada saat ini, kota-kotalah yang menjadi pusat peradaban manusia dan menjadikan dunia ini terhubung melalui jejaring-jejaring perdagangan.