HARIAN DISWAY – Suku bunga acuan di Amerika Serikat masih tertahan di level 5,25-5,50 persen. Diprediksi, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) masih menahan suku bunga yang tinggi itu dalam waktu yang lama.
Suku bunga yang tinggi itu sudah diberlakukan sejak Juli 2023. Tertahan hingga kini. Tidak naik, tidak juga turun.
Memang, sejak Maret 2022, suku bunga acuan di negara itu terus tumbuh konsisten 25 persen setiap bulannya.
BACA JUGA : Geopolitik Masih Memanas, Rupiah Diprediksi Terus Melemah
Wakil Menteri Keuangan RI Suahasil Nazara mengatakan, kondisi itu terjadi akibat kondisi inflasi di Negeri Paman Sam tak kunjung mencapai target pemerintah setempat. Menurut The Fed, mereka menargetkan inflasi di AS pada kisaran 2 persen.
Saat ini, inflasi masih bergerak di level 3 persen. “Karena inflasinya yang tinggi maka, kelihatannya suku bunga di Amerika Serikat belum akan diturunkan oleh bank sentral Amerika,” katanya dalam agenda Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2024, Kamis 18 April 2024.
BACA JUGA: Jurus Erick Thohir: Siapkan BUMN Hadapi Dampak Ekonomi dan Geopolitik Global
Padahal, banyak pihak yang memprediksi The Fed menurunkan suku bunga acuannya pertengahan 2024 ini. Sayang, perkiraan tersebut meleset. Ditambah kondisi perekonomian global yang sedang memanas.
AS Masih Inflasi, The Fed Tahan Suku Bunga di Angka Tinggi. Tingginya inflasi menyebabkan penjualan properti seret. Termasuk yang terjadi di New York, 11 April 2024 ini.-Spencer Platt-AFP-
Dengan suku bunga AS yang masih tinggi, maka akan menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara emerging market ke AS, sehingga akan menyulitkan berbagai negara memperoleh aliran modal.
Dengan kondisi tersebut, artinya pemerintah Indonesia masih harus menjaga kondisi volatilitas yang terjadi di tingkat global. “Bagaimanapun perekonomian Indonesia tidak bisa lepas dari kondisi yang terjadi di seluruh dunia,” ungkapnya.
BACA JUGA: Airlangga Hartarto Sebut Ekonomi Indonesia Masih Aman Meski Ada Krisis Timur Tengah
Di samping itu, Suahasil menyebut kondisi di Tiongkok dan Eropa juga masih menjadi perhatian. Belum lagi ada konflik baru yang memanas yakni di Iran dan Israel, yang akan semakin memperburuk kondisi ekonomi global.
“Kita akan memperhatikannya dengan serius, kita harapkan tidak terjadi eskalasi yang berlebihan sehingga mengganggu perdagangan dan sektor perdagangan dunia,” ungkapnya. (Michael Fredy Yacob)