Tantangan Etika dan Identitas dalam Pendidikan

Kamis 02-05-2024,18:26 WIB
Oleh: Menur Kusumaningtyas

Namun, itu dilakukan tanpa memperhatikan keseluruhan kepentingan dan kesejahteraan pendidik itu sendiri. Penggunaan gambar mereka, bahkan setelah mereka meninggal atau mengundurkan diri, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap hak individu dan privasi mereka.

Kedua, dalam hal merekrut staf pendidik baru, fokus ditempatkan pada kriteria seperti usia muda, keterampilan teknologi, dan dedikasi tinggi. Hal itu dapat menyebabkan pendidikan lebih memprioritaskan aspek-aspek tertentu daripada kualitas pendidikan secara keseluruhan. 

Penting untuk diingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang nilai-nilai, etika, dan kepedulian terhadap siswa. Menjadi catatan penting terhadap matinya adagium ing ngarso sung tulodho.

Yang ketiga, dan mungkin yang paling menonjol, adalah perubahan perilaku dan sikap pendidik yang menjadi lebih arogan dan tidak responsif terhadap kebutuhan siswa. Pendidik seharusnya menjadi teladan bagi siswa, baik dalam sikap, tindakan, maupun keputusan. 

Namun, jika mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan aspirasi siswa, itu bisa menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam lingkungan pendidikan.

Semuanya itu menekankan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya etika dan integritas dalam manajemen pendidikan. 

Pendidik harus dihormati, diberdayakan, dan dianggap sebagai mitra dalam proses pendidikan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan tertentu. 

Itu membutuhkan budaya organisasi yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada keadilan. Yakni, peran dan kontribusi setiap anggota komunitas pendidikan dihargai dan dihormati.

Garis merah antara perayaan Hari Buruh dan Hari Pendidikan mengungkap sebuah paradoks yang menarik. 

Di satu sisi, ada upaya untuk merayakan kontribusi dan perjuangan pekerja dalam memperjuangkan hak-hak mereka. 

Namun, di sisi lain, terdapat ironi karena banyak dari mereka yang setia dan berdedikasi terhadap organisasi sering tidak mendapatkan apresiasi yang sepadan.

Ketika anggota tim memiliki keberanian untuk menyuarakan ide kritis atau membagikan kekhawatiran yang membangun, mereka sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak manajemen. 

Sebagai hasilnya, aspirasi dan masukan yang seharusnya bernilai untuk perbaikan organisasi sering kali diabaikan, meninggalkan karyawan merasa tidak dihargai dan tidak terdengar.

Padahal, jika sedikit saja para pimpinan itu mau membuka hati dan pikiran, bahwa masukan-masukan tidak melulu soal kebaikan dan yang indah-indah saja, tapi juga membenahi dari apa yang disebut masukan ”kurang enak” dari karyawan dan lalu sama-sama membangun serta memberikan tunjangan memadai kepada karyawan, mungkin mereka tidak akan kehilangan aset terbaiknya. 

Mungkin mereka akan menjadi perusahaan yang kokoh, tidak hanya terlihat dari gedungnya yang megah, tapi juga dari karyawannya yang loyal.

Dengan demikian, aksi-aksi demo pada 1 Mei atau protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap staf pendidik tidak akan terjadi di jalan-jalan. 

Kategori :