Kebangkitan Kepemimpinan Nasional dan Indonesia Emas

Selasa 14-05-2024,08:48 WIB
Oleh: Didik Sasono Setyadi*

Terkait Tjipto, secara khusus Bung Karno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda yang terbit tahun 1928, menyinggung perjuangannya:

”... Muting, Digul...Banda! Dan kawan kita Tjipto Mangunkusumo berangkat, membawa keluarganya, diiringi oleh istrinya yang berani dan berbesar hati, - meninggalkan kita, yang buat berapa tahun lamanya berdiri di samping-sisinya, dengan persamaan asas, persamaan tujuan dan persamaan tindak.

Buat ketiga kalinya maka Tjipto masuk ke dalam hidup-pembuangan, menjalankan hukuman yang dijatuhkan padanya oleh hak luar biasa daripada kaum yang memerintah; buat ketiga kalinya, ia mempersembahkan pengorbanannya terhadap pada Tanah-air dan Bangsa yang ia abdikan, dengan kepala yang tegak dan hati yang besar.

BACA JUGA: Mencapai Generasi Indonesia Emas 2045 Lewat Kampung KB Bentukan BKKBN

BACA JUGA:Indonesia Emas Butuh Orang Cerdas

Dan kita, kawan-kawannya yang ia tinggalkan, kita kaum nasionalis Indonesia, kaum nasionalis Sumatera, kaum nasionalis Sunda, kaum nasionalis Jawa, kaum nasionalis lain-lain,-kita mengucap selamat jalan padanya, dengan kepala yang tegak dan hati yang besar juga. Sebab fajar sudah mulai menyingsing ayam jantan karenanya sudah mulai berkokok. Tjipto dibuang, atau Tjipto tidak dibuang,... pergerakan maju, ke arah yang ditujunya, matahari tak urung akan terbit.”  

Dalam pernyataan itu, ada pesan inti Bung Karno yang sangat jelas. Bila kita sebagai pejuang harus tersingkir dalam perjuangan politik, janganlah berputus asa, janganlah menyerah. Hukuman politik, pengucilan, penangkapan, bahkan pembuangan/pengasingan tidak boleh menyurutkan perjuangan melawan penjajahan.

Sebab, perjuangan bangsa bukanlah perjuangan untuk mengejar kenikmatan/kenyamanan pribadi dan keluarga. Tapi, justru sebaliknya. Perjuangan membutuhkan pengorbanan kepentingan, kenyamanan, serta kenikmatan pribadi dan keluarga. 

Bung Karno ternyata benar. Perjuangan Tjipto dan kawan-kawan –yang dimulai dengan gerakan moderat di Budi Utomo kemudian digantikan gerakan politik yang radikal sehingga akibatnya merampas kebebasan dan kenyamanan pribadi dan keluarganya itu– kelak kemudian hari membuahkan hasil. Berupa kemerdekaan Indonesia yang disebut sebagai ”jembatan emas” menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Dalam artikel saya yang berjudul Memilih Pemimpin Menuju Indonesia Emas di Harian Dsiway pada 19 April 2024, pada 2045 Indonesia dipercaya memasuki era Indonesia emas. Pada tahun itu, berdasar ramalan lembaga-lembaga keuangan bergengsi di dunia (di antaranya Goldman Sach), Indonesia akan masuk lima besar negara dengan perekonomian terkuat di dunia. 

Diprediksi pada tahun itu jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa dengan komposisi usia produktif 52 persen dan dengan kelas menengah mencapai 82 persen. Sementara itu, PDB nasional diprediksikan sebesar 9.100 miliar dolar AS dan PDB per kapita 30 ribu dolar AS per tahun.

Menurut Kementerian Perekonomian, untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045, dibutuhkan perbaikan dan penguatan banyak hal. Di antaranya, perbaikan tata kelola, peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi, perbaikan penataan ruang wilayah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, efisiensi birokrasi, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, konektivitas antardaerah, dan kesiapan infrastruktur. 

Untuk itu, kita butuh pemimpin-pemimpin yang bermental seperti Tjipto Mangunkusumo, Bung Karno, dan lain-lain yang nyata-nyata berani melawan ketidakadilan sekalipun harus tersingkir, terasingkan, dan terampas kenyamanan dan kenikmatan pribadi dan keluarganya. Sebab, saya yakin, hanya dengan pengorbanan pemimpin semacam itu Indonesia emas akan terwujud. 

Dari dr Tjipto, Bung Karno, dan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lain serta belajar dari sejarah di belahan dunia mana pun, semuanya membuktikan bahwa hanya dengan pemimpin-pemimpin yang rela mengorbankan kemapanan, kenyamanan, serta kepentingan pribadi dan keluarganya yang akan bisa membawa kemajuan bagi bangsa dan negaranya. Bukannya pemimpin yang mati-matian berjuang berebut atau pertahankan kekuasaan demi kenyamanan pribadi dan keluarganya. (*)

*) Pengajar Petroleum University UP 45 Yogyakarta dan dosen tamu di Universite Le Havre, Normandie, Prancis

 

Kategori :