Yaitu, keberhasilan pemerintah petahan membangun fasilitas di bidang kesehatan (74 persen) dan pemilih merasa puas atas fasilitas infrastruktur pendidikan (87 persen). Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan relatif dipersepsi mudah (80 persen), gampang menemukan dokter (71 persen) dan 68 persen merasa orang miskin di wilayahnya tertangani dengan baik (https://mail.bangsaonline.com, 2015).
Namun, hal itu tidak berbanding lurus dengan hasil pilkada 2015 yang dimenangkan Ipong-Sudjarno dengan perolehan 219.949 atau 39,37 persen suara. Disusul pasangan Sugiri-Sukirno yang memperoleh 205.587 atau 36,80 persen, Amin-Agus memperoleh 123.761 atau 22,15 persen suara.
Demikian halnya dengan dinamika pilkada 2020, Ipong Muchlissoni sebagai petahana waktu menjalankan pemerintahannya mendapat tingkat kepuasan kinerja yang tinggi. Berdasar hasil survei yang dilakukan Pusdeham pada 2019 atau se tahun sebelum pilkada digelar, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ipong Muchlissoni mencapai 60 persen (https://www.sinyalponorogo.com, 2019).
BACA JUGA: Operasi Balap Liar, Polres Ponorogo Amankan 238 Motor
BACA JUGA: Cegah Perundungan, Kapolres Ponorogo Kunjungi SDN 1 Bareng
Pun, dengan beberapa berita yang menyebutkan bahwa salah satu pertimbangan beberapa partai memberikan rekomendasi kepada pasangan Ipong-Bambang ialah berdasar hasil survei Ipong-Bambang lebih unggul daripada pasangan Sugiri-Lidsyarita meski tidak dijelaskan berapa posisi hasil survei tersebut (https://jatimnow.com, 2020).
Anomali politik Ponorogo terulang sebagaimana hasil pilkada 2020 yang dimenangkan pasangan Sugiri-Lisdyarita dengan perolehan 352.047 suara atau 61,7 persen suara, disusul pasangan Ipong-Bambang yang memperoleh 218.073 suara atau 38,3 persen.
Nah, dari rentetan sejarah yang didukung data-data seperti tersebut di atas, artinya tidak mudah untuk menebak hasil Pilkada Ponorogo 2024 ini karena anomali politik terlalu lebar.
Sugiri-Lisdyarita, meskipun dari hasil beberapa survei menempatkannya dalam posisi unggul, tetap harus berhati-hati, waspada, dan tidak terlena atau bahkan sampai jemawa karena penantang bisa saja mengambil langkah-langkah mengejutkan untuk membalikkan hasil survei.
Setidaknya hasil survei bisa menjadi pegangan para kandidat kontestasi politik kepala daerah untuk mengamati pergerakan suara, khususnya kepuasan publik (job approval rating), terhadap kinerja petahana yang secara teori seharusnya mampu memberikan data sekaligus persepsi publik mengenai tidak perlunya pergantian kepemimpinan di daerah, atau perlunya perbaikan kebijakan berupa reformasi pada bidang-bidang kinerja pemerintahan tertentu.
Fenomena anomali politik yang terjadi di Ponorogo terhadap angka-angka statistik hasil survei tentang terpilih-tidaknya kandidat ternyata bisa dianalisis atau dijelaskan dari tidak hanya oleh baik-buruknya kinerja petahana atau personalitas kandidat penantang.
Tetapi, juga dipengaruhi variabel-variabel sosiologis seperti agama dan kedaerahan, variabel-variabel psikologis seperti personal appeal dari kandidat ataupun dari variabel pilihan-pilihan rasional-ekonomis dari pemilih.
Menarik untuk kita cermati bagaimana strategi politik dari setiap pasangan calon bupati Ponorogo pada pilkada 2024 ini, yang tentunya memiliki keunikan dan strategi yang berbeda-beda.
Sekali lagi, politik mirip seperti sepak bola, tidak ditentukan dominasi angka-angka statistik, tetapi ditentukan strategi, dinamika di lapangan, dan tentunya mentalitas para petarung.
Mengamati Pilkada Ponorogo 2024 seperti menunggu pertandingan el clasico dengan hasil yang seringkali mengejutkan. (*)
*) Kokoh Prio Utomo, konsultan politik dan kebijakan publik pada lembaga konsultan komunikasi politik Bilga Communication.